AKU SUDAH BELAJAR

Aku sudah belajar bahwa??
Tidak selamanya hidup ini indah
Kadang Tuhan mengizinkan aku melalui lembah derita
Tetapi aku tahu bahwa Ia tak pernah meninggalkan aku
Sebab itu aku akan selalu bergembira.

Aku sudah belajar bahwa??
Tidak semua yang kuharapkan akan menjadi kenyatan.
Kadang Tuhan membelokkan rencanaku
Tetapi aku tahu itu lebih baik dari apa yang kurencanakan
Sebab itu aku akan selalu bergembira.

Aku sudah belajar bahwa??
Pencobaan itu pasti datang didalam hidupku
Dan aku tidak mungkin berkata, Tidak Tuhan!
Karena aku tahu bahwa itu melampaui kekuatanku
Sebab itu aku akan selalu bergembira.

Aku sudah belajar bahwa??
Tidak ada kejadian yang harus disesali dan ditangisi
Karena semua rencanaNYA adalah indah bagiku
Maka aku akan bersyukur dan bergembira

Bergembiralah didalam segala perkaraKarena gembira adalah resep jitu yang aku dapatkan dari firmanNYA

SULAWESI SELATAN DEARAH PENGHASIL PANGAN DAN GIZI BURUK

SULAWESI SELATAN
DEARAH PENGHASIL PANGAN DAN GIZI BURUK


Irwandy
Magister Administrasi Rumah Sakit
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin


Pendahuluan
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek. 1
Mungkinkah terjadi kekurangan gizi, khususnya pada anak di bawah lima tahun (balita), di daerah yang mengalami surplus pangan seperti Sulawesi Selatan? Bila ya, mengapa itu bisa terjadi? Langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi itu?
Pada tahun 2005, secara nasional kasus busung lapar yang menyerang anak Indonesia rata-rata mencapai angka 8%. Sesuai dengan proyeksi penduduk Indonesia yang disusun BPS, jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta di tahun 2005 ini. Itu berarti ada sekitar 1,67 juta anak balita yang menderita busung lapar. Diperkirakan jumlah anak balita yang terancam kurang gizi terus meningkat. Mengingat ada 5-6 juta bayi lahir di Indonesia dan dari jumlah itu 75%-85% berasal dari keluarga miskin.1
Sulawesi Selatan (Sul-Sel) yang dikenal luas sebagai lumbung pangan nasional ternyata memiliki angka kejadian gizi kurang yang tinggi. Survei Konsumsi Gizi menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai tahun 1998 terjadi peningkatan persentase keluarga di Sulsel yang mengalami defisit konsumsi energi dari 39% menjadi 57%). Padahal, pada saat yang sama produksi beras, sumber utama kalori di daerah ini, mengalami surplus 1,4 juta sampai 1,5 juta. 2
Angka kekurangan gizi pada balita di Sulsel juga tinggi. Survei Pemantauan Status Gizi tahun 1999 menemukan 44% balita di daerah ini kekurangan gizi dan 14% mengalami gizi buruk. Kondisi ini sangat ironis karena status daerah lumbung pangan ternyata tidak banyak berperan menanggulangi masalah kekurangan gizi. Kondisi Sulsel bahkan lebih buruk dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang hidup dari surplus beras Sulsel, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku (Departemen Kesehatan, 2001). 2
Masalah gizi dalam konsep sistem “input-outcome”.
Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebab-akibat antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah input, tetapi juga sebagai outcome. Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak.3
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input.
Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita. Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang mengukur “the real thing”.
Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi .
Hasil penelitian Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi dari India, pada tahun 1998 memang menunjukkan, masalah kelaparan dan kekurangan gizi lebih banyak merupakan masalah ekonomi-politik ketimbang masalah klinis-biologis. Menurut Sen, bencana kelaparan dan kekurangan gizi lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ketimpangan ekonomi ketimbang karena langkanya persediaan pangan atau karena gagalnya panen. 2
Daerah Penghasil Pangan Bukan Jaminan
Berdasarkan pantauan di lapangan ditemukannya gizi buruk tidak hanya di kantong-kantong kemiskinan. Tetapi juga di berbagai daerah yang justru dikenal sebagai lumbung beras.4
Ketersedian pangan pada tingkat daerah tidak menjamin pada daerah tersebut tidak akan terjadi masalah kekurangan gizi. Pertama, faktor-faktor seperti persediaan makanan di tingkat masyarakat juga harus diperhatikan. Produksi yang tinggi tidak menjamin ketersediaan pangan pada tingkat masyarakat karena masih bergantung pada distribusi dan pemasaran hasil produksi pangan tersebut. Kedua, persediaan makanan di tingkat keluarga. Ketersediaan pangan di tingkat masyarakat tidak menjamin ketersediaan pangan di tingkat keluarga. Masih ada sejumlah faktor yang mempengaruhinya. Pertama, daya beli keluarga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan harga pangan. Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia, harga-harga bahan pangan meningkat berkali-kali. Semakin langkanya lapangan kerja dan banyaknya pemutusan hubungan kerja mengakibatkan daya beli keluarga makin melemah.
Pengaruh Budayah dengan Pola Asuh Yang Diberikan
Moelek (2000) menyatakan bahwa pola pengasuhan mempunyai kontribusi sebesar 30% terhadap penentuan status gizi5.Adanya pengaruh ini bisa terjadi karena pola perilaku yang cenderung diikuti para anggota masyarakat dan berbagai kepercayaaan, nilai dan aturan yang diciptakan lingkungan tersebut.
Pola pengasuhan anak adalah bagian dari budaya suatu kelompok dan dipengaruhi kuat oleh budaya tersebut. Dalam budaya ini sang anak bukan hanya diajar untuk membesarkan anaknya tetapi juga pada waktunya mereka nanti mau memelihara anak mereka sendiri.6
Dalam proses pengasuhan, Ibu yang mempunyai peran utama dalam menjalankan tugasnya membutuhkan informasi yang biasanya terkait erat dengan budaya di wilayah setempat. Dari generasi ke generasi berikutnya terjadi pengalihan simbol hinggga terbentuk suatu kebiasaan dan menjadi budaya masyarakat setempat.
Sebagai contoh, sebuah penelitian tentang perilaku pengasuhan yang telah menjadi tradisi masyarakat Desa Lero dalam memberikan pengasuhan. Terdapat 46,9% ibu tidak memberikan kolostrum dalam penelitian ini, jika dibandingkan dengan penelitian lain, 80% bayi baru lahir di Asia tidak lagi menyusu selama 24 jam pertama dan kolostrum dibuang dengan alasan kolostrum merupakan ASI yang basi dan kotor5. Masih banyaknya Ibu yang membuang kolostrumnya di daerah ini karena dengan alasan takut anaknya mengalami “Coecoeyan”(dalam bahasa local) yang berarti akan selalu diikuti setan. Pesan untuk selalu membuang cairan kental berwarna kekuning kuningan sebelum anak disusui adalah informasi yang didapatkan oleh orang tua/kerabat mereka5.
Dari hasil penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa ternyata masih terdapat beberapa budaya-budaya yang salah dimasyarakat dan ini tentu saja sangat berperan besar dalam kejadian gizi buruk di suatu daerah.
Dampak Kurang Gizi Terhadap Nilai Ekonomi
Kurang gizi juga mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap nilai ekonomi yang hilang akibat kurang gizi tersebut. Dalam perhitungan nilai ekonomi dan kurang gizi yang dilakukan akhir-akhir ini disimpulkan bahwa akibat prevalensi kurang gizi secara keseluruhari yang masih relatif tinggi, maka bangsa Indonesia pada tahun 2003 kehilangan nilai ekonomi sebesar 22,6 triliun rupiah atau 1,43% dari nilai GDP tahun 2003. 7
Nilai ekonomi tersebut dihitung berdasarkan biaya langsung maupun tidak langsung yang muncul dari 3 masalah gizi utama, yaitu Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKY) memberi kontribusi sebesar 4,5 triliun rupiah, KEP memberi kontribusi sebesar 5,0 triliunrupiah, anemia pada orang dewasa memberi kontribusi sebesar 7,3 triliun rupiah dan anemia pada anak memberi kontribusi sebesar 5,9 triliun rupiah. Apabila prevalensi dan 3 masalah gizi utama di Indonesia konstan sampai dengan 2010 maka diperkirakan bangsa Indonesia akan kehilangan nilai ekonomi yang sangat tinggi mencapai 186,1 triliun rupiah. Sebaliknya apabila 3 masalah gizi utama diIndonesia ditanggulangi dengan menggunakan strategi intervensi yang efektif maka intervensi tersebut dapat mendatangkan nilai ekonomi 55,8 triliun rupiah sampai dengan tahun 2010.7
Penutup
Memperkuat kerja sama lintas sektor (multisector approach) untuk menanggulangi masalah gizi sangat penting dilakukan. Perlu digalakkan pengembangan visi bersama (shared vision) bahwa masalah gizi adalah tanggung jawab semua pihak. Pengembangan lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi, lembaga-lembaga masyarakat sipil, sebagai sebuah organisasi pembelajaran (learning organization) akan banyak membantu meningkatkan daya tanggap terhadap penanggulangan masalah gizi, khususnya pada anak balita.

PARADOKS KEBIJAKAN KELEMBAGAAN RS PEMERINTAH

Perubahan kelembagaan RS di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu : adanya Paradigma baru di dunia tentang pentingnya efesiensi dan efektifitas dalam sebuah intitusi pemerintah seperti halnya pada institusi sektor swasta dan yang kedua adalah transisi dari kebijakan sentralisasi ke desentralisasi.
Intitusi pemerintah secara garis besar terbagi menjadi dua yaitru : 1). Lembaga Aparat Pemerintah (Departemen, Dinas, Badan) dimana pengelolaan dana, aturan-aturan diatur oleh pemerintah; 2). Lembaga Badan Usaha (BUMN, BUMD) dimana badan usaha ini lebih mandiri dalam pengaturan dana, orang maupun barang.
Pertanyaan yang muncul bagaimana dengan RS Pemerintah di Indonesia, lebih kearah birokrasi atau korporasi???
Pelayanan di RS mendapatkan jasa pelayanan sehingga RS harus berusaha agar jumlah jasa pelayanan yang di dapat melebihi dari seluruh biaya operasional gaji dan investasi yang telah ditanamkan pad RS tersebut, karena pelayanan pasien terjadi setiap hari maa terjadi perputaran uang harian guna mempersiapkan pelayanan pada hari itu. Jadi secara alamiah RS adalah suatu badan usaha dana bukan merupakan kantor.
Sebelum tahun 1992 kelembagaan RS pemerintah adalah unit pelaksana teknis (UPT) atau aparatur Pemda/Depkes dan dikelola sebagai suatu kantor. Pada awal tahun 1992, RS Pemerintah mulai berkembang menjadi RS Swadana sehingga mereka belajar mengelola keuangan mereka sendiri. RS Swadana adalah RS yang mempunyai kewenangan untuk menggunakan penerimaan fungsional secara langsung. Bentuk RS Swadana ini hanyalah sebuah bentuk perubahan kemandirian RS dalam hala pengelolaan keuangan “bukan perubahan kelembagaan RS secara menyeluruh”.
Pada tahun 1997 terjadi kemunduran dalam hal perumahsakitan di Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Swadana di ubah menjadi RS PNBP yang artinya keuangan yang biasanya dikelola sendiri kembali harus disetor ke Kas Negara dan RS sakali lagi menjadi sebuah kantor.
Tahun 2000 terjadi revolusi kelembagaan RS pemerintah dengan berubahnya 13 RSUP menjadi RS PERJAN. Departemen Kesehatan mempelopri Korporasi RS pemerintah di Indonesia, dan setelah itu timbul lagi kebijakan baru dengan nama BLU dan sekali lagi hanya merubah manajemen keuangan RS tapi tidak menyentuh kelembagaan RS secara menyeluruh.
Di sisi lain RSUD berjuang agar bisa menjadi BUMD dan lahir Keppres 40/2001 yang memungkinkan kelembagaan RSUD bervariasi dari LTD sampai BUMD. Dan pada tahun 2003 terjadi Paradox kelembagaan RS Pemerintah ketika RSUP oleh UU BUMN didorong menjadi RS PERUM atau PERSERO sedangkan RSUD dikembalikan ke LTD, bentuk LTD ini diperkuat oleh UU 32/2004.
Tahun 2004 terjadi korporasasi RSUD DKI Jakarta dengan berubahnya 3 RSUD DKI menjadi PT RS, barangkali untuk kedepan bila tidak ada perubahan pada UU 32/2004, maka hanya 3 PT RSUD DKI Jakarta inilah satu-satunya kelembagaan RSUD yang berbentuk Perseroan. Tentunya nantinya akan menjadi sebuah studi kasus buat kita apakah ketiga RS tersebut akan sukses atau hancur.
Ditengah polemik tentang RS yang mengarah ke konsep BUMN, timbul pertanyaan bagaimana dengan rakyat miskin kita???bagaimana dengan konsep RS bukan mencari profit???
Arah RS kita memang sewajarnya mengarah kesana karena tuntutan lingkungan perumahsakitan memang menuntut RS kita menjadi suatu badan mandiri yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif dan efesien. Tugas RS kita adalah memberikan pelayanan yang berkulitas sehingga dapat bersaing dengan RS lain minimal di ASEAN dan untuk urusan masyarakat miskin adalah menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah kita sebagai tugas pokoknya untuk menjamin rakyat miskin juga dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan melakukan subsidi ke RS.
Saat ini jumlah subsidi sangat besar selain untuk rakyat miskin juga pemerintah harus mensubsisdi RS seperti operasional dan gaji pegawai. Diharapkan dengan pengeloalaan manajemen yang baik dan bentuk kelembagaan yang mandiri, pemerintah dapat mengurangi subsidi terhadap operasional dan gaji pegawai di RS karena RS sendirilah yang harus memenuhinya dan biarlah pemerintah berkonsentrasi pada perlindungan rakyat miskin kita.
Pemerintah saat ini dalam hal ini adalah Depertemen Kesehatan TIDAK MEMPUNYAI ARAH dalam kebijakan kelembagaan perumahsakitan di Indonesia. Dapat dilihat bahwa seluruh peraturan perundangan yang mengatur Kelembagaan RS adalah Produk peraturan perundangan di bidang lain dan RS hanya menerima dampak dari peraturan tersebut. Padahal bentuk kelembagaan RS akan mengatur pola manajemen pengelolaan RS dan berdampak pada kualitas pelayanan RS itu sendiri.
Peraturan-peraturan dari RS Swadana, RS Perjan dan RS BLU hanya perubahan dari segi manajemen keuangan belum menyentuh perubahan kelembagaan RS itu sendiri secara menyeluruh. Kita semua masih bingung mau dibawah kemana RS Pemerintah kedepan ke arah korporasi atau birokrasi ? tantangan lingkungan dunia perumahsakitan menjawab kearah korporasi apakah RS Pemerintah akan menjawab dengan kearah birokrasi???
Kitalah semualah yang akan menjadi saksi…!!!

Sumber : Berbagai Sumber