Hari AIDS Sedunia, Mengapa Penting?

Lihatlah kalender anda!! Dalam setahun, pasti kita akan menemukan beberapa hari khusus yang diperuntukkan bagi hal-hal bersejarah. Misalnya saja, setiap tanggal 17 Agustus kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia , termasuk para pahlawan yang telah gugur untuk memperjuangkan kemerdekaan kita. Atau tanggal 28 November yang diperingati sebagai hari pahlawan dan 12 November sebagai hari kesehatan . Akan tetapi, kemudian muncul Hari AIDS sedunia yang kita peringati setiap tanggal 1 Desember. Untuk apakah AIDS sedunia ini? Apa yang ingin diperingati? Mengapa menjadi penting?
AIDS adalah kumpulan gejala-gejala penyakit atau Sidrom yang disebabkan oleh Virus HIV yang menyerang kekebalan tubuh sang penderitanya. Begitu ganasnya AIDS ini hingga Badan Kesehatan Dunia/WHO merasa perlu menetapkan 1 hari dalam setiap tahunnya sebagai hari AIDS sedunia. Awal pertama kali ditemukan virus HIV ini pada sebuah Negara kecil di Benua Afrika dan hingga pada saat ini kita dapat menemukan di seluruh dunia para penderita HIV/AIDS sehingga WHO telah menetapkannya sebagai bahaya Pandemi atau “mendunia”.
AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada bulan Mei 1987 di pulau Dewata Bali pada seorang wisatawan asing yang kini telah meninggal dunia. Kasus penularan HIV/AIDS ini paling sering melalui hubungan seks bebas serta penggunaan jarum suntik pada pengguna NARKOBA. Hingga saat ini jumlah penderita HIV/AIDS di dunia maupun di Indonesia sendiri sangat sulit dipastikan, sebab jumlah penderita yang timbul dipermukaan diperkirakan jauh lebih sedikit dari yang tidak terekspose (Fenomena gunung Es).
Hingga tahun 2006, jumlah penderita HIV dan AIDS di Indonesia tercatat sekitar 11.165 orang dan angka itu diyakini masih jauh dari jumlah yang sebenarnya. Berdasarkan estimasi Depkes pada tahun 2002, terdapat sekitar 90.000 sampai 130.000 orang Indonesia yang telah tertular virus HIV yang penularnya dalam empat tahun terakhir ini banyak melalui narkoba suntik dan sek bebas.
Di Sulsel sendiri diperkirakan hingga tahun 2004 ini sekitar 3.000 orang penderita HIV/AIDS sedangkan yang tercatat di Dinas Kesehatan Sulsel baru sekitar 284 orang dan pada Komisi Pemberantasan AIDS (KPAD) Sulsel baru sebanyak 62 yang positif HIV sejak tahun 1994 di temukan di sulsel sudah sebanyak 26 orang yang meninggal. Data Dari RS Wahidin Sudirohusodo Sendiri memperlihatkan bahwa pada tahun 2004 saja tercatat ada 29 pasien yang dirawat akibat penyakit HIV AIDS tersebut dan meningkat tajam pada tahun 2005 sebanyak 70 pasien.
Dari segi kesehatan bahaya penularan HIV/AIDS ini amat sangat meresahkan. Kebanyakan penderita yang tertular akibat Perilaku mereka yang kurang sehat. Hubungan Seks bebas dan jarum suntik NARKOBA menyumbang angka tertinggi pada penularan penyakit ini.
Dewasa ini telah terjadi pergeseran media penularan HIV AIDS dari resiko terbesar yang disandang oleh mereka yang melakukan sex bebas kearah para pengguna jarum suntik narkoba. Tahun 2002, sumbangan narkoba suntik (injecting drugs use) pada kasus HIV berkisar antara 30 sampai 34%, tapi sampai Juni tahun 2007 ini laporan Depkes menunjukkan bahwa proporsi ini naik menjadi 54,9%
Disinilah peran KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) dan BNN (Badan Narkotika Nasional) perlu makin ditingkatkan. Kinerja kedua lembaga ini diharapkan dapat terus meningkat demi mengurangi jumlah penderita HIV AIDS di bumi pertiwi ini.
Dari segi ekonomi dapat dibayangkan banyaknya produktivitas yang hilang dari para penderita HIV/AIDS yang sakit maupun yang telah meninggal dunia. Sebagai contoh seorang penderita AIDS yang meninggal pada umur produktif semisal 45 tahun (angka harapan hidup 65 tahun), years of life lost yang hilang sebanyak 20 tahun. Dan jika ada 100 kasus yang sama YLL sebesar 2.000 tahun atau jika di Rupiahkan (upah minimum regional Rp.700.000/ bulan) kerugian yang timbul sebesar Rp.16,8 Milyar. Sungguh angka yang sangat besar dari segi ekonomi itupun hanya untuk 100 kasus saja.
Kebijakan Pemerintah Daerah Makassar pada tahun 2002 yang mewajibkan penggunaan Kondom bagi para penjajah Seks Komersil dianggap masih kurang ampuh untuk dapat mencegah penularan HIV/AIDS tersebut. Dari sebuah penelitian yang dilakukan masih banyak “Transaksi” yang dilakukan oleh para penjajah seks komersil tidak mengunakan Kondom.
Pada Awal tahun 2005 kembali keluar sebuah kebijakan tentang VCT (Voluntery Consultating Testing). Dengan melihat epidemi HIV/AIDS di SulSel sudah mencapai tingkat terkonsentrasi pada sub populasi tertentu sehingga kelihatannya masalah HIV/AIDS saat ini bukan hanya masalah medis saja tapi juga sudah menjadi masalah KesMasy (sosial dan ekonomi) yg sangat luas sehingga penanganannya harus berdasarkan pendekatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, tertier, salah satu upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui apakah seseorang menderita HIV melalui konseling dan tes sukarela bukan dipaksa atau diwajibkan. Hal ini yang melatar belakangi timbulnya kebijakan mengenai upaya untuk mendeteksi dini melalui pelayanan konseling dan tes secara sukarela (VCT).
VCT merupakan pintu masuk (entry point) untuk membantu setiap orang mendapatkan akses kesemua pelayanan baik informasi edukasi terapi atau dukungan psiko sosial. Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang akurat & tepat dpt dicapai, sehingga proses pikir, perasaan & perilaku dpt diarahkan kepada perubahan perilaku yang lebih sehat.
Dengan demikian tersedianya tempat pelayanan konseling dan testing yang berkualitas merupakan kebutuhan guna memberikan Pelayanan, baik kepada masyarakat yg berperilaku resiko tinggi maupun masyarakat umum
Tetapi tentu saja semua kebijakan-kebijakan Pemda tersebut tidak pernah akan bisa mencegah penularan HIV/AIDS. Cara yang paling ekstrim harus berani diambil oleh pengambil kebijakan tertinggi di wilayah ini bahkan dinegara ini yaitu dengan memotong salah satu rantai penularan HIV/AIDS tersebut dengan melarang kegiatan Seks bebas dan pemberantasan Peredaran NARKOBA dengan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat lagi. Peran Semua Pihak dalam Upaya penanggulangan HIV AIDS harus terus digalakkan, tidak seperti sekarang ini, dimana semua pihak seperti bekerja sendiri-sendiri. Kita ambil contoh sederhana saja, jika anda berusaha mencari data tentang jumlah kasus HIV AIDS di wilayah ini maka mungkin saja anda akan menemui data yang berbeda antar satu institusi dengan institusi lainnya. Masalah mencocokkan data jumlah kasus saja kita masih kewalahan dan terkesan tidak ada kerjasama. Semoga ini tidak menjadi suatu cerminan tentang jeleknya koordinasi lembaga-lembaga di wilayah ini dalam memberantas penularan HIV AIDS
Diharapkan hari peringatan AIDS sedunia ini dapat menjadi suatu “tekad awal” dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat termasuk kita untuk mau bersama-sama menyatakan perang terhadap HIV/AIDS demi kelangsungan masa depan generasi dan bangsa ini dan diharapkan bukan hanya sekedar “tekad”.

Oleh :
Irwandy
Mahasiswa Magister Administrasi Rumah Sakit
Program Pasacasarjana Universitas Hasanuddin
Email : wandypoenya@gmail.com
Blog : irwandykapalawi.blogspot.com

Struktur Organisasi Untuk Harmonisasi Fungsi Depkes RI, Dinas Kesehatan Propinsi, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dalam era PP 38 dan PP 41 Tahun

Reportase Pertemuan Semiloka Kamis, 25 Oktober 2007, di Hotel Santika Jakarta Pengantar ”STRUKTUR MENGIKUTI FUNGSI” Apakah konsep tersebut telah diaplikasikan oleh organisasi yang menjadi komponen utama dalam sistem kesehatan, seperti Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Indonesia? Fungsi organisasi-organisa si tersebut telah berubah sejak pelaksanaan Desentralisasi 7 tahun yang lalu. Secara normatif, tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi telah berubah. Perubahan ini diekspresikan melalui perubahan struktur organisasi yang mengakomodasi perubahan fungsi tersebut. Namun bagaimana faktanya di lapangan? Terbitnya PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007 pada bulan Juli 2007 kembali menegaskan perubahan fungsi organisasi-organisa si tersebut. Kedua Peraturan Pemerintah ini telah membagi habis kewajiban, tugas dan wewenang Departemen Kesehatan sampai dengan Dinas kesehatan Kabupaten/Kota serta memberikan panduan mengenai konfigurasi organisasi yang dapat menampung berbagai kewajiban, tugas dan wewenang tersebut. Secara normatif, struktur organisasi akan mengalami perubahan sebagai konsekuensi dari perubahan fungsi tersebut. Namun bagaimana faktanya di lapangan? Semiloka satu hari bertempat di Hotel Santika Jakarta, diselenggarakan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) FK UGM, dengan topik “Struktur Organisasi untuk Harmonisasi Fungsi Depkes RI, Dinkes Provinsi, dan Dinkes Kabupaten/Kota Pasca Keluarnya PP No. 38 Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007”. Pertemuan ini dihadiri lebih dari 50 peserta dari Departemen Kesehatan RI, ADINKES, Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, LGSP-USAID, GTZ, serta Peneliti dari Perguruan Tinggi. Dinas Kesehatan yang hadir yaitu dari: Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kep. Bangka Belitung, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, Kota Bandung, Kota Cilegon, Kab. Paser Kaltim, Kab. Buru Maluku, Kab. Pare-pare, Kab. Sidrap Sulawesi Selatan, Kab. Sleman, Kab. Klaten, Kab. Brebes, Kab. Cianjur, Kab. Kerawang, Kab. Tangerang, dan Kab. Bireuen. Dari Departemen Kesehatan RI dihadiri oleh Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Desentralisasi dr. Krisna Jaya, MS; Drs. H. Dwidjo Suseno MPH; Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH (Kepala Biro Hukum dan Organisasi Depkes RI), Drg Tari (Staf Biro Hukum), Staf Unit Desentralisasi Depkes RI, Staf Pusdatin, Staf Binkesmas, Staf Menkes Bidang PK, Bina Farmasi dan Alkes, Bina Farmasi komunitas dan Klinik, dan Puskabangkes. Dari Perguruan Tinggi dihadiri Program Pascasarjana FKM Universitas Hasanudin dan Bagian IKM FK Universitas Padjajaran. Dari Rumah Sakit ada dari RSUD Kota Bandung, RS Bersalin Astan Anyar Bandung dan PPKGM Kota Bandung. Sesi 1 : Pengantar Semiloka Semiloka ini terdiri dari 4 sesi, sesi pertama merupakan pengantar yang disampaikan oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro dari PMPK FK-UGM. Menurut Prof. Dr. Laksono Trisnantoro dalam pengantarnya menyampaikan bahwa dengan keluarnya PP 38 tahun 2007 dan PP 41 tahun 2007 ini membuka upaya untuk harmonisasi struktur mulai dari level pusat sampai dengan level kab/kota. Dengan menggunakan pendekatan konkuren PP 38/ 2007 membagi habis urusan antara pemerintah pusat, provinsi, kab/kota. Dimana arti konkuren disini adalah setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan yang dijabarkan oleh PP 38 tahun 2007 ini, antara pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota sebagai dasar dalam restrukturisasi organisasi dinas kesehatan harus melihat fungsi dari Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan terlebih dahulu. Sehingga struktur yang disusun ini adalah “….Struktur mengikuti Fungsi”. Prof Laksono menambahkan bahwa ibarat membangun rumah, perlu adanya harmonisasi antara instalasi air dan listrik yang menjadi hal penting dalam perancangan bangunan. Dan yang harus diperhatikan adalah apakah bangunan tersebut merupakan lantai satu, lantai dua, ataukah lantai 3. Bagaimana konstruksi rumah lantai satu pasti akan berbeda dengan konstruksi rumah lantai dua. Dengan sifat konkuren ini maka fungsi pemerintah dibidang kesehatan akan dibagi habis oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sehingga diharapkan tidak ada overlapping atau blank-spot. Sebagai bahan perbandingan dalam melihat harmonisasi struktur ini yaitu dalam hal perijinan. Contoh riil disini adalah Perijinan RS Hasan Sadikin yang diatur oleh PP 38 tahun 2007 diberikan oleh pemerintah (pusat). Namun dengan asas akuntabilitas dan efisiensi, RS ini harus memintakan rekomendasi dari Dinkes Kota Bandung. Logikanya adalah jika terjadi kegagalan sistem limbah misalnya, maka yang akan terkena dampaknya adalah masyarakat Kota Bandung, bukan warga Ibukota Jakarta. Dengan adanya fungsi pengawasan rumahsakit yang baru, maka diharapkan struktur Dinas Kesehatan Kota Bandung berubah, juga di DinKes Propinsi dan Departemen Kesehatan. Dengan demikian ada harmonisasi fungsi dan struktur. Gambar 1 menunjukkan logika restrukturisasi di lembaga kesehatan di pemerintah daerah yang berasal dari perubahan PP 38/2007 dan dipandu oleh PP 41/2007. Logika inilah yang dipergunakan dalam workshop ini. Gambar 1 Logika restrukturisasi Dalam Gambar 1, terlihat bahwa restrukturisasi organisasi akibat adanya PP 38/2007 mengenai tidak hanya pemerintah daerah, namun juga struktur organisasi Departemen Kesehatan. Tanpa ada perubahan struktur organisasi di Departemen Kesehatan, akan dibayangkan terjadi kesulitan untuk harmonisasi fungsi dan struktur. Dapat dibayangkan membangun bangunan 3 lantai, terjadi harmonisasi fungsi dan struktur di lantai 1 dan 2, namun struktur di lantai 3 tidak dilakukan penyesuaian. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena terjadi pengalaman sejarah dimana pada saat pelaksanaan UU 22/1999, di daerah terjadi perubahan radikal struktur organisasi. Kantor Wilayah Departemen Kesehatan di Propinsi dan Kantor Departemen Kesehatan di Kabupaten/Kota dihapuskan, atau dimerger ke Dinas Kesehatan Pemerintah daerah. Sementara itu sejarha menunjukkan bahwa struktur organisasi Departemen Kesehatan masih relatif sama dengan apa yang ada sebelum desentralisasi kesehatan. Unit Desentralisasi Kesehatan di Departemen Kesehatan bukan sebuah unit yang mempunyai nilai eksekutif. Mengapa relatif struktur organisasi Departemen Kesehatan tidak berubah selama ini? Hal ini dapat dibandingkan dengan di Filipina. Pasca kebijakan Desentralisasi, struktur organisasi Departemen Kesehatan di Filipina sudah ada pemisahan antara fungsi sebagai regulator dan operator (Lihat Gambar 2 : Struktur DepKes di Filipina). Berbeda halnya dengan Struktur Depkes RI (gambar 3), yang terlihat didalam struktur Depkes Filipina mencerminkan perubahan yang signifikan. Ada pemisahan antara fungsi regulator dan operator di pemerintah. Di Departemen Kesehatan, Health Regulation menjadi salah satu unit strategis. Disamping itu dikenal juga unit yang berhubungan dengan pihak-pihak luar dan pemerintah daerah. Pada intinya di Filipina terjadi perubahan struktur organisasi Departemen Kesehatan yang signifikan sementara di Indonesia belum terjadi. Gambar 3. Struktur Organisasi Departemen Kesehatan RI Selanjutnya, Prof. dr. Laksono juga menyampaikan tujuan semiloka ini, yang dapat dirinci sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi perubahan fungsi berbagai level organisasi sesuai PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007; 2. Membahas harapan dan strategi DepKes RI, DinKes Propinsi dan DinKes Kab/Kota dalam menyikapi kedua PP tersebut; 3. Membahas alternatif struktur organisasi. Harapan yang ingin dicapai melalui semiloka ini : 1. Bagi Pemerintah Daerah: menyikapi kedua PP ini dalam masa transisi sampai Juli 2008. Hal ini menjadi suatu kewajiban yang perlu diperhatikan karena masa persiapan kedua PP ini berakhir pada bulan Juli 2008. 2. Bagi Departemen Kesehatan RI: menjaring aspirasi pemerintah daerah dan perguruan tinggi. 3. Bagi Perguruan Tinggi dan Konsultan: Sebagai bahan kajian untuk penelitian dan konsultasi Dalam konteks perubahan struktur organisasi Departemen Kesehatan, pertemuan ini merupakan awal dari studi observasi Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM mengenai struktur organisasi. Disadari bahwa tidak mungkin struktur Departemen Kesehatan akan berubah pada tahun 2008. Disamping itu pada tahun 2009 akan terjadi Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Dengan demikian perspektif penelitian struktur organisasi lembaga di sektor kesehatan (khususnya Departemen Kesehatan) diharapkan dapat dipergunakan untuk perubahan di tahun 2009 atau 2010. Hasil kajian penelitian ini akan secara reguler disajikan dalam pertemuan terbuka seperti yang dikerjakan saat ini. Berdasarkan rencana PMPK, ke depan akan ada seri pertemuan awal yang membahas mengenai studi re-strukturisasi organisasi sebagai berikut: 1. Pertemuan I di Hotel Santika untuk membahas Harmonisasi Fungsi dan Struktur Dinas Kesehatan dan Departemen Kesehatan. Pertemuan I ini akan diikuti oleh berbagai pertemuan yang spesifik yaitu: 2. Membahas fungsi surveillans yang akan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2007, di Gedung Granadi Lt. 10 Jakarta. 3. Membahas fungsi perijinan dan pengelolaan rumahsakit pemerintah, serta struktur organisasinya, yang akan diselenggarakan tanggal 5 Desember 2007. 4. Membahas fungsi dan struktur organisasi jaminan sosial, yang akan dibahas pada tanggal 6 Desember 2007. 5. Membahas fungsi dan struktur pendidikan, pelatihan dan pengelolaan SDM kesehatan, yang akan dibahas pada pertengahan bulan Desember 2007. 6. Pertemuan-pertemuan lain yang diperlukan. Pada awal bulan Januari 2008 akan dilakukan studi observasi tentang struktur organisasi secara lebih mendalam. Khusus untuk organisasi pemerintah daerah akan dibahas berbagai usaha penyusunan dan disajikan secara rutin di buletin dan web-site www.desentralisasi- kesehatan. net. Untuk struktur organisasi Departemen Kesehatan diharapkan ada berbagai alternatif yang dapat dibahas pada awal bulan Juni 2008 untuk keperluan berbagai pihak terkait: Departemen Kesehatan sendiri, dan juga berbagai stakeholders termasuk unit penelitian dan pengembangan berbagai partai politik yang dapat menggunakannya sebagai bahan kajian akademik untuk persiapan pemilihan umum di tahun 2009. Sehubungan dengan harapan ini, ada pernyataan dari Dinkes Provinsi Sul Tengah (dr. Zuhdi Makmun) yang menyampaikan bahwa “… Pertemuan ini merupakan hal yang sangat penting. Karena mengingat di Provinsi Sulteng sudah dikejar-kejar untuk menyelesaikan struktur Dinkes oleh Pemda setempat. Struktur Dinkes yang dibuat sudah selesai namun belum disahkan. Naskah akademik-pun untuk struktur ini sudah jadi dan diterima oleh Pemda, namun Dinkes yang merancang usulan struktur ini belum melihat hakekat dari PP No. 38 tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007. Sehingga pertemuan ini dibilang terlambat tidak juga. Pertemuan ini saya anggap malah sangat membantu bagi daerah untuk mereview struktur yang sudah dirancang”. Harapan lain yang ingin disampaikan adalah kepada Depkes RI, agar segera memberikan acuan, pedoman serta rujukan bagi daerah. Sehingga pengalaman buruk yang ada era PP No. 8 Tahun 2003 dapat diminimalisir atau bahkan dapat diantisipasi” . Menanggapi hal ini menurut dr. Krisna Jaya (staf ahli Menkes Depkes RI) menyatakan bahwa “Pertemuan seperti ini merupakan bahan masukan bagi Depkes RI untuk membuat pedoman dan acuan bagi daerah. Pedoman yang dibuat oleh depkes, ada pengalaman tidak aplikatif dan tidak terpakai oleh daerah. Sehingga perlu ada usaha untuk menjembatani antara daerah dan Depkes melalui perguruan tinggi, seperti UGM misalnya. Diharapkan masukan dan harapan dari daerah dapat di akomodir. Namun saat ini ada dua kubu yang selalu muncul, yaitu kubu yang ingin Desentralisasi dan ingin Sentralisasi. Hal ini perlu diperhatikan” . Sementara dari Biro Hukum dan Organisasi Depkes RI, Prof. Agus Purwodianto menambahkan beberapa hal yaitu: Depkes akan mencoba mencarikan sumber daya dan pedoman untuk re-strukturisasi organisasi: Diharapkan yang utama dalam menyusun struktur organisasi ini adalah kita tidak keluar dari aturan hukum yang ada (PP); untuk kreatifitas desain penyusunan struktur adalah tergantung dari kebutuhan dan kreatifitas dari daerah tapi lebih ditekankan pada persamaan persepsi dan potensi daerah. Karena di dalam potensi ada maksud tersembunyi berupa strategi. Di dalam PP digariskan bahwa untuk struktur organisasi dibatasi oleh 4 (empat) bidang dan 3 (tiga) seksi. Nah, yang perlu diotak-atik adalah semua kotak ataukah hanya dua kotak saja atau malah satu kotak. Tapi, masih dalam pemahaman logika hukum, kalau yang di otak-atik tersebut semua kotak sangat tidak mungkin, satu kotak juga tidak masuk akal, yang sangat masuk dalam logika hukum adalah dua kotak yang akan diotak-atik untuk mengharmoniskan antara pusat, provinsi dan kab/kota. Lebih lanjut, dari Biro hukum mengatakan bahwa menyusun struktur tergantung visi. Dinyatakan bahwa ”Jangan berfikir bahwa struktur itu abadi dapat bertahan 25 tahun. Itu sangat kaku sekali. Tapi berfikirlah struktur itu dinamis, kalau perlu struktur dapat berubah setiap dibutuhkan perubahan”. Karena berfikir struktur dinamis, pastilah sering terjadi konflik dalam organisasi. Untuk itu perlu pula difikirkan suatu unit yang akan menangani konflik lintas organisasi. Hal ini yang belum terfikirkan oleh siapapun. Mengakhiri sesi pengantar ini, Prof. dr. Laksono Trisnantoro menegaskan bahwa sektor kesehatan merupakan sektor yang ter-Desentralisasi. UU No. 32 tahun 2004 menegaskan kembali untuk seluruh elemen bangsa bahwa sektor kesehatan merupakan sektor yang terdesentralisasi. Mau tidak mau harus dilakukan kebijakan dan strategi pelaksanaannya. Masalah harmonisasi fungsi dan struktur ini menjadi salah satu dampak praktis kebijakan ini. Sesi 2 : Presentasi dari Daerah Pengalaman penyusunan Re-Strukturisasi Organisasi Dinkes Provinsi Kaltim dan Kota Balikpapan Round 1 : Kepala Biro Hukum Depkes RI (Prof. Agus Purwodianto) Menurut Kepala Biro Hukum dan Organisasi Depkes RI ini bahwa pelayanan kesehatan merupakan pelayanan klinis. Karena UKM merupakan maslah administrasi sementara UKP menurut beliau adalah hal klinis. Kekurangan kita adalah dalam UKM belum ada hierarki dalam clinical governance. Di dalam pengaturan UKM tersebut banyak Permenkes yang tidak jelas. Seperti Permenkes tentang Tenaga Kesehatan, Permenkes tentang Pengaturan Tenaga Perawat, Apoteker …dan masih banyak lagi yang lebih mengikuti force logic etika profesi. Basis semua ini adalah Hukum Administrasi Negara.” ”… Pembagian urusan dalam pengertian Hukum adalah sudah jelas, tegas dan tidak boleh ditarik-tarik kembali. Dengan menganut teori sisa sebagaimana yang dianut dalam HTN, bahwa fungsi yang penting yang hanya diurusi oleh pusat. Sementara yang bekerja adalah provinsi dan yang lebih operasional dikerjakan oleh kab/kota. Namun yang berbeda saat ini adalah Depkes masih mengurusi urusan di daerah….” Menurut Prof. Agus Purwodianto lebih lanjut, ”dalam logika hukum, kewenangan Depkes yang tidak bida di desentralisasi adalah hal-hal yang bersifat cito dan atau emergency. Namun hal-hal yang bersifat elektif dapat di desentralisasi” . Contohnya: Mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular atau surveilans merupakan sentralisasi. Berbeda dengan Pengelolaan haji sifatnya sentralisasi namun penyelenggaraan haji adalah desentralisasi. Lebih lanjut beliau juga menambahkan bahwa untuk menterjemahkan terminologi dari PP No. 38 tahun 2007 ini sebaiknya bersifat bottom up dan dibahas secara bersama”. Menurut Prof. Agus Purwodianto, sebelum mengakhiri sesi round 1 ini menyimpulkan bahwa dalam logika hukum, pusat sifatnya semakin P2PL, Provinsi makin Yanmed dan makin kebawah (Kab/Kota) makin bersifat Binkes”. Round 2 : Persiapan restruktirsasi Dinas kesehatan Propinsi Kaltim (H. Sutarnyoto, SKM., MKes) Proses penyusunan Re-strukturisasi Dinkes Prov Kaltim diharapkan selesai sebelum tahun 2007 ini adalah untuk mengantisipasi sebelum penggantian gubernur baru pada th 2008. Konsekwensi yang muncul apabila disesuaikan dengan PP No. 38 tahun 2007 dan PP 41 tahun 2007 maka akan kehilangan 1 bidang dan 8 sub bidang. Menurut penjelasan H. Sutarnyoto, M.Kes bahwa, ”Analisis RO Dinkes Prov Kaltim berdasarkan: Peraturan yang berlaku, fungsi, potensi, dana dan SDM yang tersedia. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam konteks good governance. Sebagai dasar dalam merumuskan fungsi dinkes”. Lebih lanjut ditambahkan, ”untuk merumuskan fungsi yang sesuai dengan PP 38 2007 ada peranan pusat, prov dan kab/kota. Depkes RI dapat segera memberikan pedoman dan masukan bagi daerah terhadap maksud PP 38 tahun 2007. Harapannya adalah: adanya kejelasan mengenai arti pengelolaan, dan penyelenggaraan. Nah sesuai dengan peranan pusat adalah membuat standar dan pedoman untuk daerah. Maka Depkes lah yang lebih berwenang untuk memfasilitasi daerah”. Penyusunan RO ini dalam hal dana kadangkala menjadi dilema. Karena seringkali penyusunan RO menjadi “structure follows budget” bukan berdasarkan fungsi. Namun lebih lanjut Sutarnyoto Mkes menambahkan, bagi dinkes provinsi Kaltim tidak masalah dalam hal dana, masih bisa dicarikan dari APBD…yang membutuhkan anggaran besar itu adalah kabupaten/kota karena kab/kota lah yang melaksanakan operasional, provinsi hanya sebatas bindal, pengawasan dan pelatihan (jika memungkinkan) . Rancangan Struktur Organisasi Dinkes Provinsi Kaltim ini ada beberapa versi. Mulai dari versi dengan analisis adaptasi dari perubahan struktur lama sampai ke versi analisis radikal. Pertimbangan untuk versi yang secara radikal berubah, yaitu melihat fungsi regulasi sebagai prioritas, sangat tidak sinkron dengan struktur Depkes. Sehingga Dinkes Prov Kaltim merancang struktur yang mengakomodir PP 38/2007 dan memperbanyak UPT seperti Jamkesda, SIK dan Surveilans. Hal ini masih menjadi pembahasan utama di jajaran pemda Prov. Kaltim”. Berbagai alternatif yang dipikirkan terlihat pada Gambar 3. Kadinkes Prov Kaltim mengakhiri sesi round 2 ini dengan menyatakan bahwa, “dengan argumentasi dan penjelasan yang kuat (advokasi) terhadap rancangan RO ini, maka jajaran pemda diharapkan dapat menerima usulan dari Dinkes…”. Dalam hal ini disiapkan berbagai alternatif, mulai dari yang evolusioner sampai dengan yang revolusioner (Lihat Gambar). Gambar 4. Versi Evolusi 1: Adaptasi Dekat Existing Structure Gambar 5. Versi revolusi: Structure follow function sesuai peraturan ( PP) Gambar 6 Versi : Pre-Final RO Dinkes Prov. Kaltim Round 3 : Dinkes Kota Balikpapan (dr. Dyah Muryani) Menurut penjelasan Kadinkes Kota Balikpapan, ”Penyusunan RO DKK Balikpapan memperhatikan visi dan misi Dinkes Kota Balikpapan disamping melihat kebutuhan dan potensi yang ada, tapi sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam PP 38/2007 dan PP 41/2007. Penyusunan RO ini juga menekankan kepada fungsi Dinkes sebagai lembaga regulator. Kadinkes Kota Balikpapan menjelaskan bahwa DKK Balikpapan membentuk unit yang mengelola Jamkesda dalam bentuk UPT. Namun unit ini masih tarik ulur bentuknya apakah Badan ataukah perusda. Draft struktur dapat dilihat pada Gambar. Gambar 7 Revisi RO Dinas Kesehatan Kota Balikpapan, 2007 Diskusi Klarifikasi /masukan pembicara : Pada diskusi klarifikasi terhadap penyajian pengalaman di daerah ini ada beberapa pertanyaan dan komentar. Klarifikasi pertama lebih bersifat tanggapan yang disampaikan oleh Srijanto dari PDK Unit Desentralisasi Depkes RI. Menurut Sriyanto bahwa, ”Depkes memang harus segera menyelesaikan PR-nya untuk membuat pedoman bagi daerah. Menanggapi masalah pembentukan unit PPNS di dalam struktur Depkes RI, Srijanto juga menambahkan bahwa unit PPNS ini sangat perlu dibentuk disetiap level struktur organisasi, terutama di organisasi kesehatan untuk mengantisipasi konflik antar lembaga”. Klarifikasi kedua disampaikan oleh Drg. Indriyati (Kadinkes Kab. Sleman). Menurut pendapat Drg. Indriyati bahwa, saran untuk DKK Balikpapan terhadap UPT Jamkesda yang dibentuk, sebaiknya dalam bentuk Badan. Karena kalau dalam bentuk UPTD akan mengurangi keleluasaan dalam pengaturan dan pelaksanaan Jamkesda tersebut. Lebih lanjut Drg. Indriyati menambahkan bahwa, beliau sangat setuju dengan Rancangan Prov. Kaltim yang menjadikan SIK dan Surveilans sebagai UPT Dinkes, ”Hal ini mungkin akan menjadi referensi Dinkes Kab. Sleman untuk mereview Struktur organisasi Dinkes.” Klarifikasi ketiga disampaikan oleh dr. Rifkiyana (Dinkes Prov. Jateng). Beliau menanggapi pemaparan dari Dinkes Prov Kaltim mengenai rancangan struktur yang dibentuk tersebut apakah berdasarkan ”..too many compromised”? Karena pasti banyak yang akan tergeser dan digantikan kalau akan merestrukturisasi lembaga”. Apabila UPT yang dibentuk bisa lebih dari 3, dan ketenagaannya adalah tenaga fungsional. Hal ini bagi tenaga Fungsional dalam UPT tersebut akan sulit untuk menyusun angka kredit dibandingkan teman-temannya yang di RS atau di Puskesmas. Bagaimana mengantisipasi masalah ini…?” Dr. Rifkiyanna juga menanggapi pemaparan dari DKK Balikpapan, apakah penyusunan rancangan Dinkes Kota Balikpapan ini sudah sinkron dengan rancangan provinsi kaltim, dan bagaimana dengan rancangan struktur UPT Puskesmas-nya?” Menanggapi hal ini, H. Sutarnyoto menjelaskan bahwa, ”organisasi Dinkes Prov. Kaltim yang dirancang belum final, ada 3 hal yang perlu diperhatikan: Pengkayaan fungsi, regulasi ini tetap dimainkan, untuk menjamin fungsi yang ada, dan memperhatikan tata hubungan antara jajaran internal dan eksternal yang harus jelas, di dinkes maupun di pemda. Kesemua hal itu tergantung juga dengan kesiapan dari tenaga dan fungsi yang ada dengan melihat fungsi yang ada dan fungsi yang baru. Menanggapi mengenai UPT Dinas untuk Surveillance dan SIK, Kadinkes menjelaskan bahwa, “melihat kondisi yang ada dan beban penyakit di daerah, maka diharapkan Surveillance dan SIK ini menjadi UPT”. Untuk UPT RSD milik Provinsi, dari pengalaman kasus yang ada, RS ini akan menjadi LTD dan bentuknya akan dijadikan BLUD”. Kadinkes Prov. Kaltim juga menjelaskan tanggapan terkait masalah Jamkesda yang masih saling tarik ulur. Belum final. Karena urusan Provinsi dalam bagian yang mana masih belum jelas? Tugas dan fungsinya juga masih belum jelas antara kab/kota. Apakah hanya bertugas dalam hal memberikan subsidi..jika hanya dalam hal subsidi maka tidak perlu Jamkesda itu sebagai UPT di level Provinsi Kaltim. Jadi intinya harus ada duduk bersama antara Provinsi Kaltim dan Kab/Kota untuk pembahasan Jamkesda ini”. Menanggapi klarifikasi dari drg. Rifkiyanna, Kadinkes Kota Balikpapan menjelaskan bahwa, “untuk pengelolaan UPT Jamkesda adalah secara BLUD, dengan pedoman PP yang ada. Pada dasarnya Kota menyerahkan secara bebas apakah masalah JPKM ini akan dikelola oleh prvpinsi ataukah akan dikelola oleh Kab/Kota untuk mengantisipasi program eksklusif di daerah”. Untuk sinkronisasi dengan Provinsi, Kadinkes Kota Balikpapan menegaskan bahwa rancangan struktur Dinas Kesehatan Kota Balikpapan sudah sinkron dengan rancangan struktur organisasi Dinkes Provinsi Kaltim”. Sesi 3 : Pembahasan Pembahasan 1 : Pembahasan dari Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, intinya dari pembahasan pertama adalah adanya 3 (tiga) hal : konsep good governance, harmonisasi, pengelolaam yang lebih integratif antara upaya pelayanan kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya pelayanan kesehatan perorangan (UKP). Lebih lanjut Prof. Dr. Laksono menjelaskan bahwa, ”yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh level provinsi, kab/kota seperti apa”. Menurut pembahasan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, “Perspektif yang menjadi dasar dalam penyusunan struktur orgnisasi ini adalah tidak hanya berdasarkan ilmu kesehatan semata. Namun sebaiknya dilihat dengan mengacu kepada ilmu lainnya seperti ilmu administrasi negara”. Suasana yang diharapkan Pasca PP No. 38/2007 ini adalah adanya peningkatan fungsi pengawasan oleh Dinas Kesehatan. Hal ini menjadi salah satu aplikasi konsep Good-Governance. Ada mekanisme pengendalian yang jelas di sektor kesehatan. Selama beberapa tahun belakangan ini UGM banyhak membahas fungsi ini termasuk mengembangkan badan independen pengendalian mutu (dalam proyek PHP I di DIY), dalam bentuk adanya Badan Mutu. Sebagai gambaran, jumlah RS yang ada di Kota Balikpapan sebanyak 10 (sepuluh) RS, Kota Yogya 17 (tujuh belas) RS sementara di Kota Bandung ada 32 (tiga puluh dua) RS. Nah, bagaimana pengawasan terhadap RS yang sebanyak itu, Apakah Dinkes mampu dan sanggup melakukannya sendirian? Hal ini perlu dikembangkan struktur organisasi yang tepat untuk melaksanakan fungsi ini. Dalam pembahasan kedua, menurut pendapat Prof. Dr. Laksono Trisnantoro disebutkan bahwa, “Penyusunan RO akan dipengaruhi oleh variasi kemampuan ekonomi daerah, dimana secara garis besar ada 4 (empat) tipologi tergantung pada kemampuan pemerintah daerah dan keadaan ekonomi masyarakat. Untuk kasus Provinsi Kaltim dan Kota Balikpapan, kedua daerah ini berada di kuadran dimana ada pemerintah daerah yang kuat secara ekonomi dan masyarakatnya mengalami peningkatan ekonomi. Hal ini pasti akan meningkatkan jumlah pelayanan kesehatan oleh swasta. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa aspek regulasi menjadi hal baru yang diperhatikan secara kuat dalam penyusunan kembali struktur organisasi Dinas Kesehatan. Catatan untuk UPT dari pembahasan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro adalah bahwa UPT bukanlah sebagai tempat penampungan. Harus dianalisis betul mengapa menjadi UPTD, dan apabila memungkinakan dapat menggunakan mekanisme BLUD. Prof. Dr. Laksono setuju dengan pendapat kepala Biro Hukum dan Organisasi Depkes RI, bahwa surveillance sebagaimana dimaksud dalam PP No. 38/2007 tersebut adalah cenderung sentralisasi. Dalam PP No. 38/2007, kata pengelolaan di surveillance hanya ada di pemerintah pusat. Artinya sistem surveillance hanya boleh dirancang oleh pemerintah pusat. Sementara itu kata pengelolan untuk masalah Jamkesda ada di pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Artinya untuk penyelenggaraan Jamkesda, sistem jaminan dapat dirancang oleh daerah sesuai dengan potensi yang ada. Terakhir Prof. dr. Laksono Trisnantoro menyampaikan bahwa, ”Hal menarik dari Pengalaman Kaltim dan Kota Balikpapan ini adalah kedua daerah ini berusaha sinkron antra prov dan kab/kota; tupoksi diusahakan sinkronisasi. Namun, belum banyak dilakukan sinkronisasi dengan pusat”. Tanggapan klarifikasi disampaikan oleh Adam Nugroho dari LGSP – USAID. Ada beberapa hal yang disampaikan beliau mengenai Harmonisasi fungsi dan bagaimana dengan struktur yang ada? ”Untuk mengharmonisasi fungsi ini antara Depkes Pusat, Provinsi dan Kab/Kota, perlu diperhatikan fungsi yang ada di pemda sendiri yang harus diharmonisasi, yaitu antara dinkes dan SKPD yang lain bagaimana?” Pendapat Adam Nugroho dari LGSP – USAID, bahwa ada beberapa fungsi untuk harmonisasi, yaitu: Fungsi yang sifatnya koordinator keuangan : dipegang setda, biro keuangan, Fungsi yang sifatnya koordinator perencanaan : Bapeda, dinkes, badan dan kantor; Fungsi yang sifatnya koordinator penyelenggaraan : dinkes dan lintas sektor, dan Fungsi yang sifatnya teknis operasional : UPT. Fungsi sebagai pelayanan : yang sifatnya ada 3, yaitu pelayanan publik, pelayanan yang terkait dengan potensi di daerah , pelayanan yang terkait dengan pelayanan kesehatan dasar dan tingkat lanjutan. Jadi, menurut pendapat Adam, harus pula mencermati hubungan dengan badan, kantor dan instansi lain yang terkait kesehatan. Dan perlu pula dilihat bagaimana hubungan dengan Pihak ketiga (swasta). Ditambahkan bahwa: ”Ada satu PP baru (PP 50/2007) tentang kerjasama antar daerah. Nah, Artinya apabila muncul kerjasama dengan satu daerah dengan dinasnya pasti akan mengakibatkan terbentuknya lembaga baru yang mengurusi hal ini. PP baru ini mengatur hal tersebut. Jadi perlu diperhatihan dalam menyusun RO Dinkes.” Menanggapi pertanyaan dari Adam (LGSP, USAID), H. Sutarnyoto (Kadinkes Prov. Kaltim) menjelaskan bahwa untuk masalah dengan swasta ada Corporate Social Responsibility (CSR), dimana Provinsi Kaltim diikut sertakan dari KPC. Pembelajaran dari Kaltim adalah di dalam UU dijabarkan dalam bentuk RO yaitu dimasukkan dalam satu sub bidang yang dapat mengelola dana CSR yang ada. Karena selama ini tidak dikelola dengan baik oleh dinkes Prov. Kaltim”. Tanggapan terakhir yang perlu dijadikan bahan masukan bagi peserta lainnya dalam penyusunan struktur organisasi dinkes yaitu disampaikan oleh Sudiono dari Pusat kajian Depkes RI. Menurut Sudiono, bahwa, dalam menyusun struktur Dinkes perlu memperhatikan peraturan lain yang saling terkait disamping PP No. 38/2007, PP No.41/2007 serta Permendagri No.13/2006 serta Permendagri No.50 (terutama Pasal 9 dan Pasal 11). Jangan sampai ada konflik dalam masing-masing peraturan tersebut. Terakhir, Sudiono menambahkan bahwa, ”membuat suatu struktur itu secara harmonis tidak dapat seperti menggunakan kacamata kuda. Tetapi perlu ada kajian terhadap beberapa peraturan yang berlaku.” Sesi 4 : Latihan dan Diskusi kelompok Pada sesi berikutnya peserta dibagi menjadi tiga kelompok diskusi yaitu : Kelompok I : terdiri dari Jawa Timur, Klaten, Sleman, Jawa Tengah serta UD Depkes RI. Kelompok II : terdiri dari Jawa Barat, Bandung, Kab. Tangerang dan FK Unpad. Kelompok III : terdiri dari Sulsel, Sulteng, Kaltim, Balikpapan, Samarinda, Paser, Pare-pare, Buru serta PSIK FKM Unhas. Setiap kelompok mendiskusikan dan latihan menyusun rancangan struktur berdasarkan referensi yang ada dan berdasarkan PP No. 38/2007 serta PP No. 41/2007. Hasilnya dapat dilihat bahwa dua kelompok cenderung menggunakan pola evalusi, sementara kelompk III ingin ada pola yang revolusioner. Penutup Sebelum mengakhiri pembahasan dalam sesi ini Prof. Dr. Laksono Trisnantoro menekankan kembali bahwa penyusunan kembali struktur Organisasi Dinkes dan Departemen Kesehatan haruslah melihat fungsi yang diatur oleh PP No. 38/2007. Ditambahkan bahwa penyusunan kalimat yang menjadi dasar struktur paling baik dan paling gampang disusun berdasarkan kalimat dalam PP No. 38/2007. Terkait dengan penyusunan struktur ini, berdampak kepada review terhadap rencana strategik Dinas Kesehatan dan diharapkan pula Departemen Kesehatan. Review dokumen rencana strategik tersebut diharapkan dapat dipakai untuk merumuskan kembali visi dan misi Dinas Kesehatan dan Departemen Kesehatan. Selanjutnya secara komprehensif perlu diperhatikan pula dampak terhadap sistem kompensasi Sumber Daya Manusia di organisasi. Diharapkan ada studi mengenai bagaimana reformasi kompensasi untuk Dinas Kesehatan dan Departemen Kesehatan. Diharapkan ada perubahan agar tidak tergantung pada mekanisme Orang Hari (OH) yang menjadi tumpuan penambahan insentif selama ini. Pengalaman perubahan di Departemen Keuangan diharapkan dapat dipelajari untuk dipergunakan di Departemen Kesehatan dan di Dinas Kesehatan yang mempunyai fungsi berat dan strategis di sektor kesehatan. Terakhir Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Desentralisasi Depkes RI menutup acara workshop dengan menyampaikan agenda untuk penyusunan juknis PP No. 65/2007, PP No.38/2007 dan PP No.41 Tahun 2007 pada awal November 2007 yaitu : pada tanggal 1 November akan dilaksanakan Rapat Kooedinasi Pimpinan (Rakorpim) dan tanggal 7 November akan dilaksanakan pertemuan dengan lintas sektor.

Oleh : PMPK UGM (Rimawati)