JURNAL BABAN KERJA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BEBAN KERJA PERAWAT DI UNIT RAWAT INAP RSJ DADI MAKASSAR TAHUN 2005

IRWANDY
Mahasiswa Magister Administrasi Rumah Sakit
Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin


A. LATAR BELAKANG
Ketenagaan merupakan salah satu sumber daya yang diperlukan dalam sistem kesehatan suatu negara untuk meningkatkan kesehatan hidup masyarakat. Ketenagaan membutuhkan masa persiapan yang terpanjang dibandingkan dengan sumber daya yang lain dan tergantung yang menyalurkan mobilisasi atau usaha-usaha untuk pemerataan pelayanan.
Dalam merencanakan kebutuhan tenaga kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menyusun modul dasar susunan personalia (DSP) yang memuat tentang metode perhitungan tenaga kesehatan yaitu estimasi beban kerja. Dalam metode ini tiap-tiap pegawai dapat dihitung beban kerjanya berdasarkan tugas dan fungsinya.
Beban Kerja itu sendiri erat kaitannya dengan produktifitas tenaga kesehatan, studi yang dilakukan oleh Gani (Yaslis Ilyas, 2000) mendapatkan bahwa hanya 53,2% waktu yang benar-benar produktif yang digunakan untuk pelayanan kesehatan langsung dan sisanya 39,9% digunakan untuk kegiatan penunjang.
Produktifitas tenaga kesehatan dipengaruhi oleh beban kerja yang berlebih, sementara beban kerja tersebut disebabkan oleh jumlah tenaga kesehatan yang belum memadai. Dari hasil penelitian Ruwaedah (1990) dalam Sitti Rahma (2003) di Puskesmas strata II Kodya Makassar, menyimpulkan bahwa penampilan tenaga kerja pengelola program kegiatan Puskesmas 59,2% dipengaruhi oleh beban kerja yang berlebihan.
Pada tenaga kesehatan khususnya perawat analisa beban kerjanya dapat dilihat dari asspek-aspek seperti tugas-tugas yang dijalankan berdasarkan fungsi utamanya. Begitupun tugas tambahan yang ia kerjakan, jumlah pasien yang harus dirawatnya, kapasitas kerjanya sesuai dengan pendidikan yang ia peroleh, waktu kerja yang ia gunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan jam kerja yang berlangsung setiap hari, serta kelengkapan fasilitas yang dapat membantu perawat menyelesaikan kerjanya dengan baik.
Banyaknya tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang perawat dapat menganggu penampilan kerja dari perawat tersebut. Hal tersebut sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh RSUD Kebumen dimana banyak perawat yang berada di bangsal harus menjalankan tugas tambahan sebagai petugas kebersihan. Akibat negatif dari permasalahan ini, kemungkinan timbulnya emosi perawat yang tidak sesuai yang diharapkan sebagai perawat masih ada. "Bisa saja perawat kami sengol bicaranya, karena beban kerja yang berlebih dan di luar tanggung jawabnya” (yahoo.com / 13-02-2005).
Disamping tugas tambahan beban kerja seorang perawat juga sangat dipengaruhi oleh waktu kerjanya. Apabila waktu kerja yang harus ditanggung oleh perawat melebihi dari kapasitasnya maka akan berdampak buruk bagi produktifitas perawat tersebut. Lonjakan pasien akibat DBD membuat manajemen RS Budhi Asih Jakarta melakukan sistem double shift kepada para perawatnya, sehingga banyak dari mereka yang bekerja melebihi dari beban kerja yang seharusnya ditanggung oleh perawat tersebut (Kompas Cyber Media.Com / 3-03-2004).
Beban kerja yang berlebihan ini sangat berpengaruh terhadap produktifitas tenaga kesehatan dan tentu saja berpengaruh terhadap produktifitas rumah sakit itu sendiri. Rumah Sakit Jiwa DADI kota Makassar merupakan satu-satunya rumah sakit jiwa rujukan di kawasan Indonesia timur, selama 3 tahun berturut-turut produktifitas dan kinerjanya mengalami penurunan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh St. Hadriani pada tahun 2002, Dapat dilihat terjadinya penurunan produktifitas Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar, hal ini dapat dilihat dari persentase ketidakhadiran tenaga kesehatan dari tahun 1998 (10,25%), tahun 1999 (18,11%), dan pada tahun 2000 (24%) terjadi peningkatan yang cukup besar dari tahun ketahun. Demikian pula dengan persentase BOR Rumah Sakit terjadi penurunan dari tahun 1998 (77,04%), tahun 1999 (74,12%), dan tahun 2000 (69,61%). Serta penerimaan penghasilan juga terjadi penurunan dari tahun 1998 (99,5%), tahun 1999 (95,2%), dan tahun 2000 (83,3%). Demikian pula dengan asuhan keperawatan dari tahun-ketahun mengalami penurunan; tahun 1998 (72,3%), tahun 1999 (65,1%), dan tahun 2000 (48,5%).
Hasil penelitian yang sama memperlihatkan bahwa tingkat kejenuhan tenaga perawat di Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar sangat tinggi. Dari 128 Responden 72 responden (56,3%) menjawab cukup jenuh, 46 Responden (35,9%) jenuh akan pekerjaan mereka.

B. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan beban kerja perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar pada tahun 2005.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan waktu kerja dengan beban kerja perawat.di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar pada tahun 2005
b. Untuk mengetahui hubungan kelengkapan fasilitas dengan beban kerja perawat di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar pada tahun 2005
c. Untuk mengetahui hubungan tugas tambahan dengan beban kerja perawat di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar pada tahun 2005

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan pendekatan Cross Sectional. Yang diteliti adalah hubungan waktu kerja, kelengkapan fasilitas dan tugas tambahan terhadap beban kerja perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar pada tahun 2005.
Populasi adalah semua perawat pelaksana yang bertugas di Unit Rawat Inap Rumah sakit Jiwa DADI Makassar (Sebesar 83 Perawat).
Untuk menetapkan ada tidaknya hubungan antara variabel independent dan variabel dependen dengan meggunakan CHI SQUARE dengan bantuan SPSS 11.5.


D. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Responden
Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 68 sedangkan distribusi responden berdasarkan kelompok umur terbesar terdapat pada kelompok umur 36-40 tahun sebanyak 26 orang (38,2%), dan yang terendah terdapat pada kelompok umur 20-25 tahun sebanyak 2 orang (2,9%). Hal ini menunjukkan bahwa perawat di unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa DADI berada pada usia produktif.
Dari 68 responden yang paling banyak yaitu jenis kelamin Perempuan sebanyak 37 orang (54,4%) dan Laki-laki sebanyak 31 orang (45,6%).
Sedangkan distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir terbanyak D3 Keperawatan sebanyak 25 orang (51,5%) dan yang terendah pada tingkat Pendidikan S1 Keperawatan sebanyak 9 orang (13,2%).
2. Karakteristik Variabel Penelitian
a. Beban Kerja
Beban Kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja dalam penelitian ini diukur berdasarkan tanggapan responden terhadap beban kerja yang dirasakannya dalam menyelesaikan pekerjaannya yang sesuai dengan uraian tugas perawat pelaksana di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan untuk mengetahui beban kerja perawat di unit rawat inap RSJ DADI, diperoleh gambaran beban kerja perawat dari 68 Responden terdapat 22 orang (34,4%) yang merasa terbebani dengan tugas mereka dan 46 orang (67,6 %) yang tidak terbebani dengan tugas mereka.
Dari hasil observasi yang dilakukan, sebagian besar responden menyatakan tidak terbebani dengan tugas mereka sebagai perawat pelaksana di unit Rawat Inap RSJ DADI sebab sebagian besar pasien yang ditanganinya merupakan pasien jiwa yang sudah dapat mengurus diri mereka (Self Care), dimana pasien tersebut sudah dapat melaksanakan aktivitas kesehariannya secara sendiri seperti makan, mandi, serta sudah dapat berkomunikasi dengan cukup baik dengan orang lain.
Menurut Hasibuan, H.Malayu (2000), Uraian Pekerjaan itu harus jelas dan persepsinya mudah dipahami serta menguraikan hal-hal sebagai berikut :
1. Identifikasi pekerjaan atau jabatan yakni memberikan nama jabatan seperti rektor, dekan, dosen dan kepala administrasi.
2. Hubungan tugas dan tanggung jawab yakni perincian tugas dan tanggung jawab secara nyata diuraikan secara terpisah agar jelas diketahui rumusan hubungan hendaknya menunjukkan hubungan antara pejabat yang lain di dalam maupun di luar organisasi.
3. Standar wewenang dan pekerjaan yakni kewenangan dan prestasi yang harus dicapai oleh setiap pejabat harus jelas.
4. Syarat kerja harus diuraikan dengan jelas seperti alat-alat, mesin-mesin, dan bahan baku yang akan dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
5. Ringkasan pekerjaan atau jabatan hendaknya menguraikan bentuk umum pekerjaan dengan hanya mencantumkan fungsi-fungsi dan aktivitas utamanya.
Jadi semakin jelas uraian pekerjaan seorang tenaga kesehatan maka akan sangat membantu mereka dalam meringankan beban kerja mereka. Hal tersebut sesuai dengan yang hasil yang di diperoleh dimana Perawat di Unit Rawat Inap RSJ DADI berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa banyak dari responden (67,6 %) yang tidak terbebani oleh pekerjaan mereka, hal ini disebabkan sudah tersedianya secara baku uraian pekerjaan para perawat di RSJ DADI dan para perawat tersebut sudah mengetahui dengan jelas uraian pekerjaannya.
b. Tugas Tambahan
Tugas Tambahan dalam penelitian ini adalah tugas-tugas yang dikerjakan oleh perawat selain tugas utamanya yang tercantum dalam prosedur tetap Perawat Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar. Seperti, membuat laporan, mengikuti rapat dan tugas lain yang diberikan oleh atasan.
Semakin banyak tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang tenaga perawat maka tentu saja akan menambah tinggi beban kerjanya demikian juga sebaliknya.
Dari 68 responden terdapat 29 orang (42,6 %) yang memiliki tugas tambahan dan 39 orang (57,4%) yang tidak memiliki tugas tambahan.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa perawat pelaksana di Unit Rawat Inap RSJ DADI lebih banyak yang tidak memiliki tugas tambahan (57,4%) sedangkan dari hasil observasi yang dilakukan, para perawat pelaksana yang memiliki tugas tambahan melaksanakan tugas tambahan tersebut atas perintah atasan ataupun inisiatif sendiri untuk membantu rekan kerjanya seperti : mengikuti rapat, membuat laporan, dan lain-lain.
Sedangkan responden yang tidak memiliki tugas tambahan sebesar (42,6 %) disebabkan karena tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh seorang perawat pada unit rawat inap RSJ DADI sudah tercantum dalam uraian pekerjaan mereka sehingga setiap petugas memiliki uraian pekerjaan yang jelas sesuai fungsi dan jabatannya tanpa harus lagi mengerjakan tugas yang lain (tugas tambahan).
c. Kelengkapan Fasilitas
Fasilitas merupakan alat atau sarana yang dibutuhkan seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan. Tenaga perawat sebagai tulang punggung rumah sakit membutuhkan fasilitas dalam mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Perawat lebih mudah menyelesaikan tugasnya apabila didukung dengan fasilitas yang lengkap
Kelengkapan fasilitas dalam penelitian ini adalah alat-alat yang dibutuhkan perawat untuk melaksanakan dan mendukung dalam melaksanakan tugasnya. Fasilitas ini diukur berdasarkan pendapat responden terhadap kelengkapan fasilitas dalam mendukung pelaksanaan tugasnya sebagai perawat seperti, alat-alat vital (Stetoscope, tensimeter, dll) serta alat-alat penunjang lainnya (Jaket pengikat, alat terapi, dll).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 68 responden terdapat 33 orang (52,4 %) yang menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia di unit Rawat Inap RSJ DADI Makassar cukup lengkap dalam membantu meringankan beban kerja mereka dan 35 orang (51,5 %) yang menyatakan tidak lengkap.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilaksanakan, didapatkan bahwa responden yang menyatakan fasilitas di Unit Rawat Inap RSJ DADI cukup lengkap yaitu pada alat-alat vital keperawatan seperti : Stetoscope, tensimeter dan thermometer. Sedangkan fasilitas yang dianggap belum lengkap yaitu alat-alat pendukung keperawatan, seperti : Kateter, Urine bag, Jaket Pengikat, Maag selang, dll.
d. Waktu Kerja
Waktu kerja seseorang menentukan efisiensi dan produktifitasnya. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan dan tidak disertai efisiensi yang tinggi biasanya memperlihatkan penurunan produktifitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan (Moenir, As. 1995).
Yang dimaksud dengan Waktu Kerja dalam penelitian ini adalah jumlah jam kerja produktif yang digunakan oleh perawat untuk mengerjakan tugas utamanya sesuai dengan uraian tugas perawat Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar, maupun tugas-tugas tambahan yang dikerjakannya yang tidak tercantum dalam uraian tugas perawat Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa dari 68 responden terdapat 11 orang (16,2 %) yang mempunyai Waktu kerja yang sesuai dan 55 orang (80,9 %) yang mempunyai waktu kerja yang kurang serta terdapat 2 orang (2,9%) yang waktu kerjanya lebih.
Hal ini memperlihatkan bahwa waktu yang benar-benar digunakan oleh perawat untuk melaksanakan tugas utamanya masih kurang atau tidak sesuai dengan standar waktu kerja yang dikeluarkan oleh Depkes RI yaitu waktu kerja nomal perhari adalah 8 jam (5 hari kerja), jadi waktu yang efektif untuk tiap pegawai adalah 6,4 jam perhari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa beban kerja standar setiap pegawai adalah 80% - 100 % dari waktu kerja normal atau 6,4 – 8 jam / hari.
Dari 68 responden, ada 55 orang (80,9 %) yang mempunyai waktu kerja yang kurang. Hal ini disebabkan karena masih banyak perawat pada waktu jam kerjanya masih melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan mereka seperti berbincang-bincang dengan rekan kerja. Sedangkan ressponden yang memiliki waktu kerja lebih sebanyak 2 orang (2,9 %) hal ini diakibatkan oleh karena kondisi pasien yang ditanganinya adalah pasien yang memerlukan penanganan secara total (Total Care) dimana pasien tersebut merupakan pasien yang seluruh kebutuhannya harus dipenuhi oleh perawat seperti makan, minum dan mandi sehingga dalam penanganannya memerlukan waktu ekstra. Serta ditambah lagi jika mereka memiliki tugas tambahan yang harus diselesaikan sehingga hal tersebut menambah jam bekerja perawat tersebut.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Gani dkk (1986) tentang waktu kerja produktif petugas kesehatan diperoleh data bahwa hanya 53,2 % waktu kerja petugas puskesmas (termasuk tenaga Perawat) di Sukabumi dan Pandeglang Jawa Barat yang digunakan untuk bekerja. Serta hasil penelitian St.Rahma (2003) diperoleh data bahwa hanya 25,87 % perawat di RS Nene Mallomo Kab.Sidrap yang masuk dalam kategori cukup.
3. Hubungan Antara Variabel Independen terhadap Variabel Dependent
a. Hubungan Antara Tugas Tambahan dengan Beban Kerja
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap beban kerja yaitu tugas tambahan. Semakin banyak tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang perawat, maka akan semakin besar beban kerja yang harus ditanggung oleh perawat tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawat yang beban kerjanya membebani lebih banyak yang tidak memiliki tugas tambahan yaitu sebesar 19 orang (27,9%) dimana mereka merasa beban kerja yang mereka tangung tersebut walaupun tanpa adanya tugas tambahan sudah membebani mereka, dibanding dengan mereka yang memiliki tugas tambahan yaitu 3 orang (4,4%) dimana mereka yang memiliki tugas tambahan merasa beban kerjanya bertambah akibat harus mengerjakan tugas tambahan tersebut dan berdasrakan kuisioner penelitian didapatkan bahwa banyak dari mereka yang memiliki tugas tambahan tersebut atas perintah langsung dari atasan mereka dan bukan atas inisiatif mereka sendiri sehingga hal terbut dirasa menambah tinggi beban kerja yang harus ditanggungnya.
Sedangkan perawat yang beban kerjanya tidak membebani, pada mereka yang memiliki tugas tambahan lebih besar yaitu 26 orang (38,2%) karena mereka mengerjakan tugas tambahan tersebut atas inisiatif mereka sendiri, seperti untuk membantu rekan kerja mereka dibanding yang tidak memiliki tugas tambahan yaitu hanya 20 orang (29,4%) dimana hal ini menunjukkan bahwa semakin kurang tugas tambahan yang harus ditanggung oleh perawat maka akan lebih meringankan beban kerjanya.
Berdasarkan hasil uji Chi Square yang dilakukan didapatkan nilai p 0,001 atau lebih kecil dari 0,05 jadi Hipotesis penelitian diolak dimana ada hubungan antara Tugas Tambahan dengan Beban Kerja Perawat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara beban kerja dan tugas tambahan. Dimana semakin banyak tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang perawat maka akan menambah tinggi beban kerjanya, tetapi tidak selamanya tugas tambahan tersebut menambah tinggi beban kerja perawat bahkan dapat menambah produktivitas perawat tersebut selama tugas tambahan tersebut tidak melebihi standar kemampuan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan yang dituliskan oleh Yalis Ilyas (2000) bahwa beban kerja dipengaruhi oleh jumlah kegiatan yang dilakukan, dengan demikian tugas tambahan dapat senantiasa diberikan pada tenaga kesehatan bila hal tersebut tidak menyebabkan beban kerjanya tidak melewati standar.
b. Hubungan Antara Kelengkapan Fasilitas dengan Beban Kerja
Fasilitas adalah segala hal yang memudahkan perkara atau kelancaran tugas (Kamus Bahasa Indonesia, 1990). Fasilitas sangat diperlukan dalam melaksanakan suatu kegiatan, kelengkapan fasilitas sangat mempengaruhi beban kerja seseorang dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perawat yang beban kerjanya membebani, lebih banyak yang menganggap Fasilitas di unit rawat inap tidak lengkap yaitu 19 orang (27,9%), dibanding dengan mereka yang menganggap fasilitas lengkap yaitu 3 orang (4,4%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa perawat di unit rawat inap RSJ DADI tersebut lebih banyak yang merasa beban kerjanya tinggi akibat kurangnya peralatan atau kelngkapan fasilitas di rumah sakit tersebut. Dari hasil wawancara singkat yang dilakukan dapat dilihat ketika seorang pasien ketika penanganannya membutuhkan jaket pengikat untuk menenangkannya tetapi karena tidak tersedianya peralatan tersebut maka yang digunakan hanya sebuah tali biasa sehingga hal tersebut tentu lebih berat dan menambah beban kerja perawat untuk melaksanakannya.
Sedangkan perawat yang beban kerjanya tidak membebani, pada mereka yang Mengangap Fasilitas Lengkap yaitu 30 orang (44,1%) dibanding yang menganggap fasilitas tidak lengkap yaitu hanya 16 orang (23,5%).
Berdasarkan hasil Chi Square yang dilakukan didapatkan nilai p 0,000 atau lebih kecil dari 0,05 jadi Hipotesis penelitian ditolak dimana ada hubungan antara Kelengkapan fasilitas dan Beban Kerja Perawat.
Hal ini menunjukkan bahwa kelengkapan fasilitas di suatu Rumah Sakit sangat membantu meringankan beban kerja seorang tenaga perawat. Semakin lengkap fasilitas untuk menunjang kerja para perawat maka akan semakin membantu meringankan beban kerja perawat tersebut dan demikian sebaliknya semakin minim peralatan atau fasilitas disuatu rumah sakit maka akan semakin menambah beban kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit tersebut.
c. Hubungan Antara Waktu Kerja dengan Beban Kerja
Waktu kerja adalah waktu produktif yang digunakan oleh perawat untuk mengerjakan tugas-tugas pokoknya. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang perawat maka akan menambah tinggi beban kerja perawat tersebut dan sebaliknya jika waktu yang digunakan oleh perawat itu dibawah waktu kerja kerja sebenarnya maka akan mengurangi beban kerja perawat, tetapi akan sangat mempengaruhi produktifitas perawat tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Perawat yang Beban Kerjanya Membebani lebih banyak yang waktu kerjanya tidak sesuai yaitu 15 orang (22,1%), dibanding dengan mereka yang waktu kerjanya sesuai yaitu 7 orang (10,3%). Hal tersebut meperlihatkan bahwa perawat merasa beban kerjanya berlebih karena waktu kerjanya berlebih, hal ini diakibatkan oleh karena kondisi pasien yang ditanganinya adalah pasien yang memerlukan penanganan secara total (Total Care) dimana pasien tersebut merupakan pasien yang seluruh kebutuhannya harus dipenuhi oleh perawat seperti makan, minum dan mandi sehingga dalam penanganannya memerlukan waktu ekstra.
Sedangkan Perawat yang Beban Kerjanya tidak membebani, pada mereka yang memiliki waktu Kerja tidak sesuai yaitu 42 orang (61,8%) dibanding yang memiliki waktu kerja yang sesuai yaitu hanya 4 orang (5,9%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa banyaknya perawat yang tidak terbebani dengan beban kerjanya diakibatkan oleh karena rata-rata perawat tersebut mempunyai waktu kerja efektif dibawah dari standar (<6,4 jam perhari) dan sebagian waktunya lebih banyak digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses perawatan pasien seperti berbincang-bincang dengan rekan kerja.
Berdasarkan hasil Yete’s correction yang yang dilakukan didapatkan nilai p 0,038 atau lebih kecil dari 0,05 jadi Hipotesis penelitian ditolak dimana ada hubungan antara waktu kerja dan Beban Kerja Perawat.
Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan antara waktu kerja dan beban kerja seorang tenaga perawat. Sejalan dengan pendapat yang dikeluarkan oleh Moenir, As. (1995) bahwa Waktu kerja seseorang menentukan efisiensi dan produktifitasnya. Memperpanjang waktu bekerja lebih dari kemampuan dan tidak disertai efisiensi yang tinggi biasanya memperlihatkan penurunan produktifitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan.

E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara waktu kerja perawat di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar dengan beban kerja perawat.
2. Ada hubungan antara Kelengkapan Fasilitas di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar dengan beban kerja perawat.
3. Ada hubungan antara tugas tambahan di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa DADI Makassar dengan beban kerja perawat.

ANALISIS PENEMPATAN DOKTER SPESIALIS

Jurnal
ANALISIS PENEMPATAN DOKTER SPESIALIS
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
(Studi Kasus di RSUD Andi Makkasau Pare-Pare, RSUD Pattallassang Takalar dan RSUD Andi Djemma Luwu Utara)


PENDAHULUAN
Dalam hal ketersediaan tenaga dokter spesialis, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, maupun di negara-negara maju. Rasio dokter spesialis dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 1 : 23.900. Disamping jumlahnya sedikit, penyebarannya pun tidak merata (Trisnantoro, 2000).
Selama ini penyebaran dokter spesialis di Indonesia sangat tidak merata, bahkan ada beberapa daerah yang sangat minim dokter spesialis. Provinsi yang memiliki dokter spesialis terbanyak adalah DKI Jakarta (24,6 %), kemudian Jawa Timur (13,96 %), Jawa Tengah (12,07 %) dan Jawa Barat (11,38 %). Provinsi yang memiliki dokter spesialis paling sedikit adalah Maluku Utara (0,17 %) (Sumber: Laporan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, 2002).
Pada saat ini kebijakan yang mengatur tentang penempatan dokter spesialis yang telah selesai masa pendidikannya mengacu pada Kepmenkes 1207.A/MENKES/SK/VIII/2000 tentang pendayagunaan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis.
Sejumlah masalah mengenai penempatan dokter spesialis antara lain: Banyak dokter spesialis mengingkari janji untuk bekerja di RSUD dan beberapa lulusan dokter spesialis, walaupun mau ditempatkan di RSUD Kabupaten, tetapi meninggalkan tugas sebelum selesai penugasan. Selain itu banyak lulusan dokter spesialis yang mendapat baiya pendidikan dari pemerintah tetapi tidak mau bekerja kembali pada kabupaten asal dimana mereka bekerja sebelumnya.
Berdasarkan data keadaan dan kekurangan dokter spesialis di Sulawesi Selatan, hanya 6 RSUD yang tidak kekurangan dokter spesialis. Di RSUD Andi Makkasau kota Pare-pare terdapat 14 dokter spesialis, di RSUD Pattallassang Kabupaten Takalar terdapat 11 dokter spesialis dan di RSUD Andi Djemma Kabupaten Luwu Utara terdapat 7 dokter spesialis.

Tujuan Umum
Untuk menganalisis penempatan dokter spesialis berdasarkan lama masa bakti/penugasan yang diatur dalam Kepmenkes RI Nomor: 1207.A/MENKES/SK/VIII/2000 tentang pendayagunaan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis, Kontrak Ikatan Dinas, permintaan RSUD, persepsi dokter spesialis/dokter residen tentang fasilitas (financial dan nonfinansial) dan fasilitas kerja serta komitmen pimpinan Pemda tentang fasilitas dan biaya pendidikan dokter spesialis di Provinsi Sulawesi Selatan . sedangkan tujuan khusus adalah :
a. Menganalisis penempatan dokter spesialis berdasarkan lama masa bakti/penugasan sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor: 1207.A/MEKES/SK/VIII/2000 tentang pendayagunaan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis di Provinsi. Sulawesi Selatan?
b. Menganalis penempatan dokter spesialis berdasarkan Kontrak Ikatan Dinas dari Depkes atau Pemda di Propinsi Sulawesi Selatan?
c. Menganalisis persepsi dokter spesialis/dokter residen terhadap fasilitas dan fasilitas kerja di Provinsi Sulawesi Selatan?
d. Menganalisis penempatan dokter spesialis berdasarkan permintaan RSUD yaitu kebutuhan masyarakat persyaratan rumah sakit kelas C.
e. Menganalisis komitmen pimpinan Pemda Kab/Kota tentang Fasilitas dan bantuan biaya pendidikan dokter spesialis di Provinsi Sulawesi Selatan?

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Sumber Daya Manusia
Menurut Nawawi (2001:37), Pengertian sumber daya manusia dalam arti mikro di lingkungan sebuah organisasi/perusahaan dapat dilihat dari tiga sudut:
1. SDM adalah orang yang bekerja dan berfungsi sebagai asset organisasi/perusahaan yang dapat dihitung jumlahnya (kuantitatif).
2. SDM adalah potensi yang menjadi motor penggerak organisasi/perusahaan. Setiap SDM berbeda-beda potensinya maka kontribusinya dalam bekerja untuk menkongkritkan rencana operasional bisnis menjadi kegiatan bisnis tidak sama satu dengan lainnya.
Tinjauan Umum Manajemen SDM
Menurut Saydam (2000:9), pengertian manajemen SDM itu tiada lain adalah semua kegiatan yang dilakukan mulai dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian sampai pengendalian semua nilai yang menjadi kekuatan manusia, untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
Menurut Hasibuan (2003:10),
“Manajemen SDM adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat”.
Menurut Simamora (1999:3),
“Manajemen SDM adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja”.

Sistem Penempatan SDM
Menurut Saydam (2000 : 152), pada hakikatnya apa yang menjadi sasaran proses penempatan SDM ini adalah untuk :
a. Mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia dalam perusahaan
b. Agar orang yang ditempatkan itu tidak terombang-ambing lagi dalam menunggu tempat dan apa yang akan dikerjakan.
c. Menempatkan orang yang tepat pada posisi dan tempat yang tepat.
d. Agar perusahaan dapat bertindak efisien dengan memanfaatkan SDM yang berhasil direkrut.
A. Tinjauan Umum Rumah Sakit
Rumah sakit menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman organisasi rumah sakit umum dalam rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar, spesialistik dan sub-spesialistik, sedangkan klasifikasinya didasarkan pada perbedaan tingkatan menurut kemampuan pelayanan kesehatan yang dapat disediakan yaitu rumah sakit kelas A, kelas B (pendidikan dan non-pendidikan), kelas C dan kelas D.
Rumah Sakit Umum (RSU) pemerintah dibedakan atas:
a. RSU Tipe A, yaitu apabila pada rumah sakit tersebut tersedia pelayanan medis spesialistik dan sub spesialis yang luas.
b. RSU Tipe B, yaitu apabila dalam pelayanan rumah sakit tersebut terdapat pelayanan spesialistik luas dan sub spesialistik terbatas.
c. RSU Tipe C, yaitu apabila dalam pelayanan rumah sakit tersebut terdapat pelayanan spesialistik minimal untuk 4 vak besar, yaitu penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri ginekologi.
d. RSU Tipe D, yaitu apabila dalam pelayanan rumah sakit tersebut hanya bersifat dasar dan dokter umum.
Tinjauan Umum Tenaga Kesehatan
Menurut peraturan pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, yang termasuk tenaga kesehatan ialah:
1. Tenaga medis : dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi.
2. Tenaga keperawatan : perawat dan bidan.
3. Tenaga kefarmasian : Apoteker, analisis farmasi, asisten apoteker
4. Tenaga kesehatan masyarakat : epidemiologi kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluh kesehatan, administrasi kesehatan, sanitarian.
5. Tenaga gizi : nutrisionis dan dietasen.
6. Tenaga keterapian fisik, fisioterapis, radioterafis, teknisi gizi dan elektromedis, analisis kesehatan, teknisi transfusi dan perekam medis.
7. Tenaga keteknisian medis.
Kompensasi / Fasilitas
Menurut Martoyo (2000:126), Kompensasi adalah pengaturan keseluruhan balas jasa bagi “employers” maupun “employees” baik yang langsung berupa uang (financial) maupun yang tidak langsung berupa uang (nonfinansial).
Pemberian insentif dimaksudkan untuk memberikan upah yang berbeda bagi karyawan tetapi bukan berdasarkan pada evaluasi jabatan meskipun upah dasarnya sama. Dimaksudkan untuk dapat meningkatkan produktifitas karyawan dan mempertahankan karyawan untuk dapat tetap berada dalam organisasi.
Persepsi
Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interprestasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini jelas tampak pada definisi John R. Wenburg dan William W. Wilmot : “Persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna”. Rudolph F. Verderber dalam buku Ilmu Komunikasi (Mulyana:2004),
Komitmen
Neale dan Noertheraft (1990), komitmen terhadap organisasi merupakan itikad yang kuat dari seseorang untuk terlibat dalam organisasi, biasanya meliputi: (1) keyakinan yang sungguh-sungguh akan tujuan dan nilai-nilai organisasi, (2) kesediaan untuk berusaha atau berbuat sesuatu demi organisasi, (3) keinginan yang kuat untuk terus menjadi suatu organisasi.


Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksploratif dengan menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan di tiga RSUD yaitu: Andi Makkasau Pare-Pare, Pattallassang Takalar dan Andi Djemma Luwu Utara, dengan pertimbangan bahwa RSUD Andi Makkasau Pare-Pare merupakan pusat rujukan, RSUD Pattallassang Takalar merupakan RSUD yang jaraknya dekat dari ibu kota provinsi dan RSUD Andi Djemma Luwu Utara merupakan RSUD yang jaraknya jauh dari ibu kota provinsi. Waktu penelitian selama 2 bulan yaitu pada bulan Mei – Juli 2006.
Informan dalam penelitian adalah Dokter spesialis empat dasar yaitu spesialis anak (Sp.A), spesialis bedah umum (Sp.B), spesialis obsteri ginekologi (Sp.OG), dan spesialis penyakit dalam (Sp.PD) yang bertugas di RSUD Andi Makkasau Pare-pare, RSUD Pattallassang Takalar dan RSUD Andi Djemma Luwu Utara.
Pengumpulan data kuantitatif diperoleh dari data sekunder, dan data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam. Untuk menjamin validasi data yang telah diperoleh, dilakukan Triangulasi Metode dan Sumber.



HASIL PENELITIAN
Lama masa bakti/penugasan dokter spesialis empat dasar di RSUD Andi Makkassau Parepere, RSUD Pattallassang Takalar dan RSUD Andi Djemma Luwu Utara telah dilaksanakan berdasarkan Kepmenkes.
Lama masa bakti/penugasan yang diatur dalam Kepmenkes RI 1207.A/MENKES/SK/VIII/2000 adalah lama masa pengabdian profesi dokter spesialis dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan pemerintah pada suatu sarana pelayanan kesehatan tertentu. Penempatan dokter spesialis merupakan penetapan pelaksanaan tugas dokter spesialis pada suatu daerah yang diberikan oleh pemerintah. Regulasi kesehatan adalah salah satu esensi dari reformasi di bidang kesehatan yang diformulasikan dalam bentuk penerapan kebijakan tersebut. Implementasi sebuah kebijakan akan sesuai dengan tujuan pembuatan kebijakan tersebut jika diterapkan dan dipatuhi serta disosialisasikan dengan baik.
Secara normatif adanya Kepmenkes yang mengatur penempatan dokter spesialis bertujuan agar distribusi dokter spesialis merata sampai di daerah terpencil dan daerah dalam kondisi tertentu. Namun kenyataannya ternyata masih banyak RSUD di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia yang masih kekurangan dokter spesialis. Hal ini disebabkan oleh enggannyan dokter spesialis bekerja di daerah (Subdin Bina Pelayanan Kesehatan dan Farmasi, 2006).
Dokter spesialis mempunyai tanggung jawab moral dengan mendahulukan pengabdian di dalam menjalankan tugasnya dan mematuhi Kepmenkes yang mengatur tentang penempatannya, distribusi dokter spesialis akan merata dan masyarakat Indonesia akan menikmati pelayanan dokter spesialis.
Dokter spesialis empat dasar telah menjalin kontrak ikatan dinas dengan Depkes, sedangkan dokter residen belum menjalin kontrak ikatan dinas baik dengan Depkes maupun Pemda. Di Kabupaten Luwu Utara terdapat 1 orang dokter yang mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari Pemda.
Dokter dalam suatu rumah sakit tetap merupakan inti utama dalam pelayanan kesehatan. Dokter spesialis merupakan dokter yang mengkhususkan diri dalam suatu bidang ilmu kedokteran tertentu. Seorang dokter harus menjalani pendidikan dokter spesialis, untuk dapat menjadi dokter spesialis yang merupakan program pendidikan lanjutan dari program dokter (Wikipedia Indonesia Ensiklopedia, 2005). Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan saat mengikuti program pendidikan dokter spesialis merupakan salah satu penyebab dokter spesialis bermohon untuk mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah dalam hal ini Depkes atau pemerintah daerah.
Lemahnya perhatian pemerintah daerah dalam memberikan biaya pendidikan bagi dokter yang akan melanjutkan pendidikan spesialis, disebabkan oleh tingkat kemampuan pemerintah daerah yang masih terbatas.
Persepsi dokter spesialis tentang fasilitas menganggap bahwa fasilitas harus ada tetapi bukan hal utama yang menjadi pertimbangan memilih bekerja di RSUD. Pemberian fasilitas merupakan faktor penting yang dapat menarik, memelihara dan mempertahankan karyawan untuk tetap setia melakukan tugasnya dalam suatu organisasi. Fasilitas dapat meningkatkan ataupun menurunkan prestasi kerja, kepuasan kerja maupun motivasi karyawan (Martoyo, 2003).
Kabupaten Takalar dan Luwu Utara telah memberikan fasilitas berupa insentif, perumahan dan biaya kongres. Sedangkan kota pare-pare tidak ada insentif kecuali perumahan dan biaya kongres. Salah satu persyaratan administrasi kebutuhan tenaga RSUD kelas C adalah adanya perumahan bagi dokter spesialis empat dasar dengan ukuran tipe 70.
Untuk mencegah dokter spesialis memilih atau pindah ke daerah lain yang menjanjikan fasilitas yang lebih baik, Pemda seharusnya bersaing dengan daerah lain menyediakan fasilitas.
Persepsi dokter spesialis empat dasar terhadap fasilitas kerja adalah merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan dalam peningkatan pelayanan kesehatan dan sudah sesuai standar minimal bahkan beberapa jenis alat sesuai dengan standar optimal.
Agar dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal, pemerintah harus meningkatkan perhatian terhadap fasilitas kerja RSUD. oleh sebab itu peralatan yang lengkap dapat memberikan kesempatan bagi dokter spesialis untuk dapat melaksanakan fungsi sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang di dapatkan di institusi pendidikan.
Keberadaan dokter spesialis empat dasar telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan memenuhi persyaratan RSUD kelas C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pelayana dokter spesialis yang akan membantu dalam upaya penyembuhan penyakit tertentu yang diderita oleh masyarakat. Sepuluh penyakit terbesar yang ada di masyarakat adalah merupakan penyakit yang perlu diupayakan mendapatkan spesialisasi jika dibutuhkan.
Rumah sakit menurut Kepmenkes RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman rumah sakit umum. Rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar spesialistik dan sub spesialistik, sedangkan klasifikasinya didasarkan padap perbedaan tingkatan menurut kemampuan pelayanan kesehatan yang dapat disediakan yaitu rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Hasil analisis di peroleh informasi bahwa di RSUD Andi Makkasau kota pare-pare, Pattallassang Kabupaten Takalar dan Andi Djemma Kabupaten Luwu Utara, tenaga dokter spesialis empat dasar lengkap sesuai dengan persyaratan RSUD kelas C yaitu ketenagaan minimal mempunyai dokter spesialis empat dasar, selain tingkat pelayanan, keadaan fisik bangunan, dan peralatan.
Komitmen Pimpinan Pemda kota Parepare dalam memberikan fasilitas masih kurang, belum ada insentif dan bahkan masih ada yang belum mendapatkan perumahan, sedangkan komitmen Pemda kabupaten Takalar dan Luwu Utara adalah berada pada tingkat komitmen kuat karena telah memberikan insentif yang diatur dalam keputusan Bupati, selain mendapatkan perumahan dan biaya kongres.
Komitmen Pimpinan Pemda kota Parepare dan Takalar terhadap bantuan biaya pendidikan dokter spesialis berada pada tingkat komitmen lemah karena belum memberikan biaya pendidikan dokter spesialis, sedangkan komitmen Pimpinan Pemda Kabupaten Luwu Utara berada pada tingkat komitmen sedang karena telah memberikan bantuan biaya pendidikan kepada satu orang dokter yang sedang pendidikan spesialis THT.



KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

1. Penempatan dokter spesialis berdasarkan lama masa bakti/penugasan yang diatur dalam Kepmenkes Nomor 1207. A/KEPMENKES/SK/VIII/2000 tentang pendayagunaan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis, telah dilaksanakan oleh dokter spesialis empat dasar di RSUD Andi Makkasau Pare-pare, RSUD Pattallassang Takalar dan RSUD Andi Djemma Luwu Utara berdasarkan Kepmenkes Nomor 1207. A/MENKES/SK/VIII/2000.
2. Penempatan dokter spesialis berdasarkan konrak ikatan dinas dari Depkes dan Pemda, diperoleh data bahwa dokter spesialis empat dasar di RSUD Andi Makkasau Pare-Pare, RSUD Pattallassang Takalar dan RSUD Andi Djemma Luwu Utara telah menjalin kontrak ikatan Dinas dengan Depkes. Dokter residen tidak menjalin ikatan kontrak baik dengan Depkes maupun Pemda.
3. Persepsi dokter spesialis/dokter residen terhadap fasilitas dan fasilitas kerja adalah Fasilitas harus ada dan menjadi salah satu pertimbangan bagi dokter spesialis memilih bekerja di RSUD. Persepsi dokter spesialis terhadap fasilitas kerja adalah fasilitas kerja merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan memilih bekerja di RSUD.
4. Penempatan dokter spesialis berdasarkan permintaan RSUD adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan memenuhi persyaratan RSUD kelas C.
5. Komitmen pimpinan Pemda Kota Pare-pare tentang fasilitas berada pada tingkat komitmen sedang, Kabupaten Takalar dan Luwu Utara berada pada tingkat komitmen kuat. Sedangkan komitmen terhadap bantuan biaya pendidikan spsialis Kota Pare-pare dan Kabupaten Takalar berada pada tingkat komitmen lemah dan Kabupaten Luwu Utara berada pada tingkat komitmen sedang.

Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan hendaknya menfasilitasi pengadaan fasilitas kerja dokter spesialis serta meningkatkan advokasi kepada Pemda dan DPRD kota/kabupaten, dalam menfasilitasi dokter spesialis memperoleh insentif yang rasional.
2. Pemda Kota Parepare, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Luwu Utara hendaknya melengkapi fasilitas kerja dokter spesialis agar semua peralatan kerja sesuai dengan standar minimal bahkan sesuai dengan standar optimal.
3. Pemda Kota Pare-Pare, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Luwu Utara hendaknya meningkatkan komitmen dalam menyediakan fasilitas baik finansial maupun non finansial kepada dokter spesialis.


Sumber : Tesis Mardiana Wahab, MARS UNHAS

MENGENAL INFORMED CONSENT

Irwandy
Magister Administrasi Rumah Sakit
Program pascasarjana Universitas Hasanuddin
Makassar

"Informed Consent" terdiri dari dua kata yaitu "informed" yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan "consent" yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi "informed consent" mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian "informed consent" dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , "informed consent" dirumuskan sebagai "suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

Di Indonesia perkembangan "informed consent" secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang "informed consent" melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang "Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent". Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan "informed consent" karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan "informed consent", bertujuan :

Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau "over utilization" yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;

Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap "risk of treatment" yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.

ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai "subyek hukum " yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan "jasa tindakan medis" sebagai "obyek hukum" yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah "informed consent" dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah "kesalahan kecil" (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium "barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi".
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah "kesalahan berat" (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, "informed consent" mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa "informed consent" benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.