JAKARTA – Pemerintah tahun ini mengalokasikan anggaran Rp 600 miliar untuk bantuan pendidikan dokter spesialis di sejumlah fakultas kedokteran terkemuka.Bantuan itu diberikan untuk menambah jumlah dokter spesialis yang saat ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk.
“Tahun depan dananya ditingkatkan menjadi Rp 1 triliun. Kalau rata-rata pencetakan satu dokter spesialis butuh Rp 500 juta, anggaran satu tahun bisa menghasilkan 2 ribu dokter spesialis,” ujar Wapres Jusuf Kalla ketika meresmikan Sahid Sahirman Memorial Hospital di Jakarta, Senin, 25 Agustus.
Wapres menuturkan, jumlah dokter spesialis yang sedikit membuat seorang dokter berpraktik di beberapa rumah sakit dan klinik pribadi. Hal itu menyebabkan waktu untuk berkonsultasi dengan pasien menjadi terbatas.
“Kalau mereka praktik sampai pukul 23.00, kapan belajar dan ikut seminar. Padahal, satu cabang ilmu kedokteran meningkat 100 persen setiap tiga tahun. Kalau dia praktik tiga tahun, artinya ilmunya hanya setengah dokter di luar negeri yang pasiennya sedikit,” katanya.
Terbatasnya waktu konsultasi membuat pasien tidak bisa mendapat pelayanan maksimal. Selain itu, dokter tidak bisa membuat diagnosis yang jitu dalam sekali konsultasi. “Akibatnya, dokter kasih banyak obat karena dia menduga-duga penyakit pasiennya. Pikirnya, di antara sekian banyak obat, masak gak ada yang kena,” tuturnya disambut tawa hadirin.
Karena itu, Wapres meminta para dokter meluangkan waktu untuk terus belajar, mendengarkan keluhan pasien, menghindari pemberian obat pesan sponsor pabrikan farmasi, dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya melalui telepon atau SMS.
“Ciri dokter spesialis yang baik itu, kalau ditelepon pasien mau menjawab, di-SMS membalas, dan obatnya sedikit,” tuturnya.
Pencetakan dokter spesialis harus dilakukan karena mutu pelayanan kesehatan di Indonesia masih rendah. Indikasinya, setiap tahun sepuluh persen penduduk Indonesia terbang ke Singapura, Malaysia, Australia, Tiongkok, dan Amerika Serikat untuk memeriksakan kesehatan.
“Persepsi orang-orang kaya kita, penyakit di atas sakit kepala hanya bisa disembuhkan dokter luar negeri. Bahkan, anak saya pun punya pikiran seperti itu,” jelas Wapres.
Persepsi tersebut dinilainya sangat berbahaya karena eksodusnya orang-orang kaya yang menjadi pasar kelas eksekutif di rumah sakit membuat rumah sakit Indonesia tidak bisa melakukan subsidi silang dengan pasien miskin. Akibatnya, rumah sakit bisa tekor atau biaya kesehatan penduduk miskin dinaikkan. “Ini kan tidak sehat,” paparnya.
JK berjanji bahwa presiden dan wakil presiden tidak akan berobat ke luar negeri. “Apa pun risikonya, saya dan presiden tetap (berobat) di dalam negeri. Meski, itu juga disebabkan sudah ada delapan dokter kepresidenan yang menjaga kami,” ungkapnya lantas terkekeh.
Sumber : http://www.fajar.co.id